Minggu, 06 Maret 2011

NASIHAT UNTUK PARA SALIKIN - Oleh Imam Al-Ghazali (PART 1)

Ketahuilah, salah seorang murid Al Ghazali yang telah menyertai gurunya selama bertahun-tahun bertanya-tanya kepada dirinya. Ia berguru, menemani dan melayani gurunya dalam waktu yang cukup lama. Berbagai ilmu dan pengalaman spiritual telah diperolehnya, tetapi ia masih merasa ragu terhadap dirinya. Ia berkata kepada dirinya, "Saya telah membaca berbagai macam ilmu. Usiaku habis untuk belajar dan mengumpulkan bermacam-macam ilmu. Hingga sekarang saya tidak mengetahui ilmu yang mana yang bermanfaat bagiku dan menemaniku kelak di alam kubur. Saya juga tidak tahu ilmu mana yang tidak bermanfaat bagiku sehingga saya harus meninggalkannya. Padahal Rasulullah saw. telah berdoa: "Ya Allah, sesungguhnya saya berlindung denganMu dari ilmu yang tidak bermanfaat."

Ia terus berpikir dan berpikir sampai akhirnya memutuskan untuk menulis surat kepada gurunya, Al Ghazali. Ia mengadukan kepadanya kegelisahan hatinya dan meminta nasihat. Ia memang mengaku sudah banyak memperoleh pelajaran dari gurunya, tetapi yang dicari belum ditemukan. Salah satu ucapan yang disampaikan kepada gurunya adalah sebagai berikut: "Beberapa buku karangan Syekh, seperti Kitab Ihya' dan kitab-kitab yang lain memang sudah menjawab masalah saya. Akan tetapi, maksud saya di sini adalah agar Syekh menuliskan untuk saya nasihat yang tertulis hanya dalam beberapa lembar kertas. yang saya bisa membawanya sepanjang hidup saya dan mengamalkannya."

Kemudian Al Ghazali menulis jawaban. Surat itu kepada muridnya sebagaimana berikut.

Ilmu adalah Untuk Diamalkan
Ketahuilah, wahai anakku yang mulia dan sahabat yang ikhlas, - semoga Allah melanggengkan ketaatanmu kepadaNya dan melangkahkan kakimu dijalan para kekasihNya-, Sesungguhnya tebaran nasihat ditulis dari tambang risalah Rasulullah saw. Jika nasihat dari beliau telah sampai kepadamu, maka nasihat apa lagi yang kamu butuhkan dariku. Jika belum sampai, maka katakan kepadaku apa yang telah kamu peroleh selama bertahun-tahun ini dari ilmu yang telah kau raih? Sementara pada saat yang sama engkau habiskan waktumu mencari ilmu itu.

Wahai Anakku di antara nasihat Rasulullah saw. yang sangat berharga adalah sabda beliau ini: "Tanda-tanda Allah berpaling dari hambaNya adalah kesibukan hamba itu dengan sesuatu yang tidak berarti. Jika seseorang sesaat saja dari usianya hilang untuk sesuatu yang tidak berguna bagi tujuan penciptaannya, maka patut baginya mendapatkan kerugian yang panjang: dan barangsiapa telah melewati 40 tahun dan kebaikannya tidak mengalahkan kejelekannya, maka bersiap-siaplah ke neraka."

Nasihat ini sudah cukup bagi orang yang benar-benar ahli ilmu. Wahai Anakku, urusan nasihat sangat mudah, yang sulit adalah menerima nasihat. Karena menerima nasihat bagi hawa nafsu terasa pahit, sementara larangan-larangan itulah yang disukai oleh sebagian besar manusia, khususnya bagi orang yang hanya sibuk mencari ilmu, dimana ilmunya tersebut digunakan hanya untuk memperoleh keagungan dan kemulian dunia. Dengan upayanya mencari ilmu itu - dia hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu semata - bukan untuk diamalkan - agar ilmu tersebut dinisbatkan kepadanya. Dengan demikian orang akan berkata "Si Fulan seorang yang berilmu (sarjana, master, doktor dll -pentj) dan mulia". Orang yang terakhir ini hidupnya hanya sibuk mengurusi nafsu dan memasuki lorong-lorong kehidupan dunia. Ia mengira bahwa dengan mendapatkan ilmu semata, kehidupannya akan selamat dan terlepas dari kesengsaraan. Ia tidak butuh amal. Ini adalah keyakinan para filsuf. Mahasuci Allah. Ia tidak mengetahui ketentuan ini ketika sudah mendapatkan ilmu dan tidak mengamalkannya, ia justru berhujjah dengan sekian banyak dalil yang memperkuat asumsinya bahwa ilmu untuk ilmu, bukan untuk amal. Rasulullah saw. bersabda: "Manusia yang mendapatkun azab paling berat di akhirat adalah orang yang berilmu yang Allah tidak memberinya kemanfaatan atas ilmunya."

Imam Ahmad dan al-Bayhaqi meriwayatkan dari Mansur Ibn Zadan yang berkata, "Telah sampai kabar kepada kami, bahwa apabila orang berilmu tidak memperoleh manfaat dari ilmunya itu, para penghuni Neraka berteriak karena mencium baunya yang busuk. Mereka—para penghuni neraka itu— berkata kepadanya, "Apa yang telah kamu perbuat, wahai orang jelek? Kamu telah mengganggu kami dengan baumu yang busuk. Apakah tidak cukup bagimu rasa sakit dan keburukan kami?" Orang yang berilmu itu menjawab, "Dulu, aku ini orang berilmu, tetapi aku tidak memperoleh manfaat dari ilmuku."

Diriwayatkan bahwa Al Junaidi setelah wafat memperlihatkan dirinya dalam tidurku, lalu ditanyakan kepadanya, "Apa kabar. hai Abu Al Qasim (panggilan Al Junaidi)?" Ia menjawab, "Semua ungkapan (ilmu) telah rusak dan isyarat-isyarat (ilmu yang lebih dalam) juga musnah. Tidak ada yang memberi kami manfaat kecuali rakaat-rakaat yang kami rukuk di tengah malam."

Wahai Anakku, Janganlah kamu menjadi orang yang bangkrut sebab amalmu, dan jangan pula batinmu dalam keadaan kosong dari dzikir pada Allah. Yakinlah bahwa ilmu semata tidak mungkin bisa diandalkan. Contohnya, seandainya seorang laki-laki gagah di tengah gurun sendirian memiliki sepuluh pedang India yang sangat ampuh dan beberapa pusaka lainnya. Laki-laki itu dikenal pemberani dan jago perang. Kemudian seekor singa yang sangat besar menghampirinya dan siap menerkamnya. Apa pendapatmu, apakah senjata-senjata yang hebat itu mampu mencegah laki-laki itu dan terkaman singa jika ia tidak menggunakan dan menghantamkannya kepada singa? Sudah pasti senjata-senjata itu tidak mampu melindunginya kecuali dengan digerak-gerakkan. Demikian juga jika seseorang telah membaca 100.000 masalah ilmiah dan berhasil menguasainya. tetapi tidak mengamalkannya, maka ilmu-ilmu itu tidak akan memberinya manfaat kecuali dengan mengamalkannva. Contoh lain. jika seseorang sakit kuning, dan ia mengetahui bahwa kesembuhannya hanya dengan ramuan obat tertentu yang telah dikuasainya, maka ia tidak mungkin sembuh kecuali dengan meminum obat itu.

Seandainya kamu telah belajar puluhan tahun, membaca banyak buku dan menguasai berbagai macam ilmu, lalu kamu menyimpan kitah-kitab sebagai bahan koleksi pribadi, maka semua itu tidak akan menolong dan menjadikanmu mendapatkan manfaat kecuali dengan mengamalkannya.

Allah swt. berfirman: "Dan bahwa manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (QS. Al Najm: 39).

"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya. maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh." (QS. Al Kahfi: 110).

"Sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan." (Qs. Al Taubah: 82).

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh. bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal. Mereka kekal di dalamnya. mereka tidak ingin berpindah darinya." (QS. Al Kahfi: 107-108).

"Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh." (Qs. Al Furqan: 70).

Apa pula pendapatmu tentang hadis berikut ini: "Islam dibangun di atas lima [dasar]: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat., mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadlan, dan berhaji ke Baitullah bagi yang mampu [menempuh] perjalanan ke sana."

Iman adalah diucapkan dengan lidah, dibenarkan dengan hati dan dilakukan dengan organ-organ tubuh. Dalil yang menunjukkan keharusan beramal lebih banyak daripada orang yang menghitung-hitung hahwa seseorang bisa sampai ke surga berkat keutamaan dan kemuliaan Allah. Akan tetapi, hal ini hanya mungkin tercapai setelah orang itu melakukan ketaatan dan beribadah kepadaNya, karena rahmat dan keutamaan Allah hanya untuk orang-orang yang mendekati kebaikan. Yakni golongan orang baik. Seandainya dikatakan pula hahwa surga bisa dicapai dengan iman semata, maka kami jawab, "Benar, tetapi sampai kapan?" Berapa banyak rintangan yang menuju surga yang harus dipangkas jika benar-henar ingin sampai. Tantangan pertama adalah tantangan iman. Apakah iman yang dimilikinya berhasil dipertahankan dan tidak tercabut dari hatinya, atau sebaliknya? Jika imannya selamat, apakah ia termasuk orang yang khianat atau bangkrut? Hasan Basri berkata. "Allah pada hari kiamat akan berkata kepada hamba-hambaNya, "Masuklah, hai hamha-hamhaKu ke surga sebab rahmatKu dan berbagilah kamu dengan amalmu."

Wahai Anakku, selama kamu tidak beramal, maka kamu tidak mendapatkan upah (pahala).

Dikisahkan hahwa seorang pria Bani Israil telah menyembah Allah selama 70 tahun. Allah swt. ingin memperlihatkannya kepada para malaikat, Maka diutuslah satu malaikat untuk memberikan kabar kepadanya bahwa ibadah yang selama ini dilakukannya belum menjadikannya layak masuk surga. Ketika kabar itu diterimanya, ia menjawabnya demikian. "Kami memang diciptakan untuk ibadah. Karena itu, kami harus menyembahNya." Ketika malaikat itu kembali dan menghadap Allah, ia mengadu, "Tuhanku, Engkau lebih tahu atas apa yang ia katakan." Allah pun menjawab, "Jika ia tidak berpaling dari beribadah kepada Kami, maka Kami bersama kemuliaan Kami tidak berpaling darinya. Saksikanlah, hai malaikat-malaikatKu, sesungguhnya Aku telah mengampuninya."

Rasulullah saw. bersabda: "Hisablah (introspeksi) diri kalian sebelum kalian dihisab dan timbanglah amal kalian sebelum [amal] kalian ditimbang."

Ali bin Abi Thalib ra berkata, "Barangsiapa mengira bahwa dengan tanpa amal bisa sampai [kesurga], maka ia seorang pengangan-angan (pengkhayal). Barangsiapa mengira bahwa ia bisa sampai [ke surga] hanya karena amalnya, berarti ia adalah orang yang tidak butuh [rahmat Allah]."

Al Hasan berkata, "Mencari surga dengan tanpa amal adalah satu di antara dosa-dosa [besar]." la juga berkata, "Tanda kebenaran yang hakiki adalah meninggalkan perbuatan yang memperhatikan amal dan bukan meninggalkan amal."

Rasulullah saw. bersabda: "Orang yang cerdik adalah orang yang jiwanya dekat (pendek) dan beramal untuk sesuatu sesudah mati. Orang yang bodoh adalah orang yang mengikuti hawa nafsu dan mengangan-angankan Allah dengan angan-angan."

Rabu, 02 Maret 2011

THARIQAT MU'TABARAH DAN GHAIRU MU'TABARAH

Pada dasarnya thariqat yang berada di seluruh dunia dapat di bagi menjadi dua kategori besar yakni:
  1. Thariqat Mu'tabarah
  2. Thariqat Ghairu Mu'tabarah
Perbedaan Thariqat Mu'tabarah dan Ghairu Mu'tabarah
Perbedaan antara thariqat Mu'tabarah dan Ghairu Mu'tabarah adalah silsilah (sanad) Syaikh mursyidnya. Pada awalnya thariqat itu adalah ajaran yang di turunkan oleh Allah S.W.T melalui malaikat-Nya kepada Nabi Muhammad S.A.W yang kemudian diajarkan lagi kepada sahabat hingga para Syaikh. Jika silsilah dari seorang Syaikh kepada Rasulullah S.A.W terputus dalam maka ini adalah thariqat ghairu mu'tabarah.

Keterputusan silsilah ini ada dua makna yaitu:
  • Silsilah Syaikh mursyid thariqat tidak bersambung kepada Rasulullulah S.A.W.
  • Silsilah dari Syaikh mursyid thariqat terdapat Syaikh yang tidak menerima ijazah talqin dari Syaikh sebelumnya atau Syaikh musryid yang mengajarkan thariqat tidak mendapatkan ijazah (izin) talqin dari Syaikh sebelumnya.
Selain keterputusan hubunga Syaikh sampai dengan Rasulullah S.A.W kecenderungan lain dari thariqat ghairu mu'tabarah adalah sering megindahkan syariat dan mengedepankan kebatinan seperti melihat alam gaib, kekebalan, dst yang tidak seiring dengan makna thariqat seperti yang di tegaskan oleh Syaikh Muhammad Amin Al Kurdi di dalam kita Tanwirul Qulub bahwa thariqat itu menjalankan syariat (tauhid, fiqih, dan tasauf) dibawah seorang Syaikh Mursyid hingga mencapai derajat kehambaan.

Seorang murid yang mejalankan thariqat ghairu mu'tabarah dapat membahayakan akidahnya dan banyak membawa ke mudharatan.

Thariqat Mu'tabarah
Di seluruh dunia terdapat banyak thariqat-thariqat mu'tabarah tetapi dari sisi keutamaan ibadah thariqat mu'tabarah terdapat perbedaan yaitu:
  1. Thariqat mu'tabarah dengan ibadah derajat (lebih utama)
  2. Thariqat mu'tabarah dengan ibadah hasanah
Pada dasarnya perbedaan dari dua thariqat mu'tabarah ini terdapat pada silsilah syaikh mursyidnya lagi yaitu thariqat mu'tabarah dengan ibadah derajat di pimpim atau di bimbing oleh Syaikh Mursyid yang mempunyai ijazah talqin zikir serta murid dan ijazah tarbiyah yang menyambung hingga Rasulullah S.A.W. Selain itu juga Syaikh Mursyid tersebut adalah orang yang dipilih atau pilihan (mustafa) oleh Allah S.W.T dan Rasulullah S.A.W sebagai Imam atau Khalifah Rasul atau Rasul Rasulullah dimana figur Syaikh ini diberikan wewenang oleh Allah S.W.T sebagai penjabar atau mejelaskan Al'Quran dan As-Sunnah kepada seluruh umat manusia. Syaikh Mursyid seperti ini di kenal dengan banyak nama yaitu Al-Imam, Khalifah Rasul, Rasul Rasulullah, Sulthan Auliya, Ghauts Al-'Azham, atau Asy-Syaikh Al-Akbar. Penunjukan beliau pun harus jelas dan dapat di saksikan oleh murid-murid thaqirat secara mukasyafah. Keutamaan murid yang bertemu dengan Syaikh Mursyid seperti ini adalah seperti keutamaan sahabat dengan Rasulullah S.A.W dan ibadah yang dilakukan adalah mencapat derajat kewalian.

Thariqat ghairu mu'tabarah dipimpin oleh seorang syaikh yang memiliki ijazah untuk taqin zikir dan murid dan silsilah sampai dengan Rasulullah S.A.W hanya saja beliau ini tidak sebagai orang pilihan Allah dan Rasulullah S.A.W sehingga Syaikh Mursyid seperti ini seharusnya tetap mencari Syaikh Mursyid yang mejadi orang pilihan Allah dan Rasulullah S.A.W dengan derajat Imam atau Khalifah Rasul

Selasa, 01 Maret 2011

KOMENTAR IMAM MAZHAB TENTANG THARIQAT SUFIYAH

Komentar Imam Mazhab Tentang Thariqat Sufiyah:
  1. Imam Abu Hanifah RA: Imam Abu seorang imam mazhab dari empat mazhab terkenal, ternyata juga seorang Mursyid Thariqah Sufi. Diriwayatkan oleh seorang Faqih Hanafi al-Hashkafi, menegaskan, bahwa Abu Ali ad-Daqqaq ra, berkata, “Aku mengambil Thariqah sufi ini dari Abul Qasim an-Nashr Abadzy, dan Abul Qasim mengambil dari Asy-Syibly, dan Asy-Syibly mengambil dari Sary as-Saqathy, beliau mengambil dari Ma’ruf al-Karkhy, dan beliau mengambil dari Dawud ath-Tha’y, dan Dawud mengambil dari Abu Hanifah Ra. Abu Hanifah dikenal sebagai Fuquha ulung, ternyata tetap memadukan antara syariah dan haqiqah. Dan Abu Hanifah terkenal zuhud, wara’ dan ahlu dzikir yang begitu dalam, ahli kasyf, dan sangat dekat dengan Allah Ta’ala, berkah Tasawuf yang diamalkannya. Jika ada pertanyaan, kenapa para Mujtahidin itu tidak menulis kitab khusus mengenai Tasawuf, jika mereka mengikuti aliran Sufi? Imam Asy-Sya’rany, Mujathid dan Ulama besar mengatakan, “Para Mujtahidun itu tidak menulis kitab khusus mengenai tasawuf, karena penyakit-penyakit jiwa kaum muslimin di zamannya masih sedikit. Mereka lebih banyak selamat dari riya’ dan kemunafikan. Mereka yang tidak selamat jumlahnya kecil. Hampir-hampir cacat mereka tidak tampak di masa itu. Sehingga mayoritas Mujtahidin di masa itu lebih konsentrasi pada bidang ilmu dan mensistematisir pemahaman pengetahuan yang tersebar di kota dan desa, dengan para Tabi’in dan Tabiit Tabi’in, yang merupakan sumber materi pengetahuan, sehingga dari mereka dikenal timbangan seluruh hukum, dibanding berdebat soal amaliyah qalbiyah sebagian orang yang tidak banyak muncul”.
  2. Imam Malik Ra. Beliau mengatakan soal tasawuf ini dengan kata-kata yang sangat popular hingga saat ini: “Siapa yang bersyariat atau berfiqih tanpa bertasawuf, benar-benar menjadi fasiq. Dan siapa yang bertasawuf tanpa bersyariat (berfiqih) benar-benar zindiq. Siapa yang mengintegrasikan Fiqih dan Tasawuf benar-benar menapaki hakikat kebenaran.”
  3. Imam Syafi’i Ra. Beliau berkata: “Aku diberi rasa cinta melebihi dunia kalian semua: “Meninggalkan hal-hal yang memaksa, bergaul dengan sesama penuh dengan kelembutan, dan mengikuti thariqat ahli tasawuf.”
  4. Imam Ahmad bin Hambal Ra. Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
  5. Imam Al-Muhasiby RA. Abu Abdullah al-Harits Al-Muhasiby, wafat tahun 243 H, diantara karyanya adalah al-Luma’ dan Kitabul Washaya, yang sangat popular diantara kaum Sufi. Beliau pernah mengatakan berhubungan dengan perjuangan dirinya dalam mencapai wushul kepada Allah, melalui jalan Tasawuf dan tokoh-tokoh Sufi, “Amma Ba’du, sudah ada penjelasan, bahwa ummat ini terpecah menjadi tujupuluh lebih golongan Diantara golongan itu ada satu golongan yang selamat, Wallahu A’lam sisanya. Dan sepanjang usia saya, sering diperlihatkan perbedaan antara ummat. Saya mengikuti metode yang jelas dan jalan utama. Aku mencari ilmu dan amal. Saya menapak jalan akhirat melalui petunjuk para Ulama, dan saya memegang ayat Al-Qur’an melalui penakwilan para fuqoha’, dan aku merenungkan urusan ummat, dan menganalisa pandangan dan mazhabnya. Saya berfikir mengenai apa yang mampu, dan betapa banyak perbedaan yang begitu mendalam yang menenggelamkan banyak orang. Hanya sekolompok manusia yang selamat. Saya melihat bahwa mereka berpendapat bahwa golongan merekalah yang selamat. Setelah menggambarkan berbagai kelompok mazahab dan golongan, Al-Muhasiby mengatakan: “Kemudian aku sangat mencintai mazhab kaum Sufi dan sangat banyak mengambil faedah dari mereka, menerima adab-adab mereka karena ketaatan mereka, yang sangat lurus, dan tak seorang pun melebihi mereka. Kemudian Allah membukakan padaku bukti-bukti tasawuf, keutamaannya mencerahkan jiwaku, dan aku berharap agar keselamatan ada pada orang yang mengakuinya, atau merias dengan perilakunya. Aku sangat yakin adanya pertolongan besar bagi yang mengamalkannya, dan aku pun melihat adanya pelencengan pandangan bagi yang menentangnya. Aku juga melihat adanya kotoran yang mengerak pada hati yang menentang tasawuf, dan terlihat pula adanya argumentasi yang luhur bagi yang memahaminya. Bahkan kemudian, aku mewajibkan diriku untuk mengamalkannya. Aku meyakininya dalam akidah rahasia batinku, dan meliputinya pada kedalaman rasaku, bahkan kujadikan tasawuf itu sebagai asas agamaku, dimana aku bangun amal-amalku, lalu di bangunan itu aku mondar-mandir dengan perilaku hatiku…….”

Senin, 28 Februari 2011

Makna Syari’at, Thariqat, Haqiqat

Inilah gambaran dari jalan menuju akhirat, yakni melalui syari’at, thariqat dan haqiqat. Melalui jalan ini seseorang akan mudah mengawasi ketakwaannya dan menjauhi hawa nafsu. Tiga jalan ini secara bersama-sama menjadi sarana bagi orang-orang beriman menuju akhirat tanpa boleh meninggalkan salah satu dari tiga jalan ini.
Haqiqat tanpa syari’at menjadi batal, dan syari’at tanpa haqiqat menjadi kosong. Dapat dimisalkan di sini, bahwa apabila ada orang memerintahkan sahabatnya mendirikan shalat, maka ia akan menjawab: Mengapa harus shalat? Bukankah sejak zaman azali dia sudah ditetapkan takdirnya? Apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang beruntung, tentu ia akan masuk surga walaupun tidak shalat. Sebaliknya, apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang celaka maka, ia akan masuk neraka, walaupun mendirikan shalat.
Ini adalah contoh haqiqat tanpa syari’at.
Sedangkan syari’at tanpa haqiqat, adalah sifat orang yang beramal hanya untuk memperoleh surga. Ini adalah syari’at yang kosong, walaupun ia yakin. Bagi orang ini ada atau tidak ada syari’at sama saja keadaannya, karena masuk surga itu adalah semata-mata anugerah Allah. Syari’at adalah peraturan Allah yang telah ditetapkan melalui wahyu, berupa perintah dan larangan. Thariqat adalah pelaksanaan dari peraturan dan hukum Allah (syari’at). Haqiqat adalah menyelami dan mendalami apa yang tersirat dan tersurat dalam syari’at, sebagai tugas menjalankan firman Allah.
Mendalami syari’at sebagai peraturan dan hukum Allah menjadi kewajiban umat Islam terutama yang berkaitan dengan ibadah mahdlah, ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah SWT. Seperti dalam firman: Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în yang artinya: “Hanya kepada Engkau (Allah), aku beribadah, dan hanya kepada engkau aku memohon pertolongan.” (QS. Al-Fâtihah: 4-5).
Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga haqiqat adalah usaha seorang hamba melepaskan dirinya dari kekuatannya sendiri dengan kesadaran bahwa semua kemampuan dari perbuatan yang ada padanya, hanya akan terlaksana dengan pertolongan Allah semata.
Pada dasarnya kewajiban seorang mukmin adalah melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, dengan tidak memikirkan bahwa amal perbuatannya itulah yang akan menyelamatkannya dari siksaan neraka, atau menjadikannya masuk surga. Atau ia beranggapan tanpa amal ia akan masuk neraka, atau beranggapan hanya dengan amal ia akan masuk surga.
Sebenarnya ia harus berpikir dan meyakini bahwa semua amalannya hanya semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah dan mendapatkan keridhaan-Nya. Seperti firman Allah: “Fa’budillâh Mukhlishan Lahuddîn“.
Apabila Allah Ta’ala menganugerahkan pahala atas amal perbuatannya hanyalah merupakan karunia Allah belaka. Demikian juga apabila menyiksanya, maka itu semua merupakan keadilan Allah jua, yang tidak perlu dipertanyakan pertanggungjawabannya.
Hasan Basri mengatakan bahwasannya ilmu haqiqat tidak memikirkan adanya pahala atau tidak dari suatu amal perbuatan. Akan tetapi tidak berarti meninggalkan amal perbuatan atau tidak beramal.
Sayyidina Ali RA, mengatakan: Barangsiapa beranggapan, tanpa adanya perbuatan yang sungguh-sungguh, ia akan masuk surga, maka itu adalah hayalan, sedangkan orang yang beranggapan bahwa dengan amal yang sungguh-sungguh dan bersusah payah ia akan masuk surga, maka hal itu sangat sia-sia. Orang pertama adalah mutamanni dan orang yang kedua adalah muta’ anni.
Pernah dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki Yahudi dari Bani Israil, ia telah beribadah selama tujuh puluh tahun. Pada suatu saat ia memohon kepada Allah agar dia ditetapkan berada bersama-sama para malaikat. Maka Allah SWT, mengutus malaikat untuk menyampaikan kepadanya bahwa dengan ibadahnya yang sekian lama itu, tidak pantas baginya untuk masuk surga. Laki-laki ini mengatakan pula kepada malaikat itu setelah mendengar berita dari Allah SWT. “Kami diciptakan Allah di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah, maka sepantasnyalah kami berkewajiban beribadah (tunduk) kepada-Nya.
Tatkala malaikat itu kembali melaporkan apa yang didengarnya dari hamba Allah tersebut, ia berkata: “Ya Allah, Engkau lebih mengetahui apa yang diucapkan oleh laki laki tersebut.” Allah SWT pun berfirman. “Jika ia tidak berpaling dan tunduk beribadah kepada-Ku, maka dengan karunia dan kasih sayang-Ku, Aku tidak akan meninggalkannya. Saksikanlah olehmu, sesungguhnya Aku telah mengampuninya“.
Syari’at
Ibarat bahtera itulah syari’at
Ibarat samudera itulah thariqat
Ibarat mutiara itulah haqiqat.

Ungkapan dari syair di atas menjelaskan kedudukan tiga jalan menuju akhirat. Syari’at ibarat kapal, yakni sebagai instrumen mencapai tujuan. Thariqat ibarat lautan, yakni sebagai wadah yang mengantar ke tempat tujuan. Haqiqat ibarat mutiara yang sangat berharga dan banyak manfaatnya.
Untuk memperoleh mutiara haqiqat, manusia harus mengarungi lautan dengan ombak dan gelombang yang dahsyat. Sedangkan untuk mengarungi lautan itu, tidak ada jalan lain kecuali dengan kapal.
Sebagian Ulama menerangkan tiga jalan ke akhirat itu ibarat buah pala atau buah kelapa. Syari’at ibarat kulitnya, thariqat isinya dan haqiqat ibarat minyaknya. Pengertiannya ialah, minyak tidak akan diperoleh tanpa memeras isinya, dan isi tidak akan diperoleh sebelum menguliti kulit atau sabutnya.
Agama ditegakkan di atas syari’at, karena syari’at adalah peraturan dan undang-undang yang bersumber kepada wahyu Allah. Perintah dan larangannya jelas dan dijalankan untuk kesejahteraan seluruh manusia. Menurut Syaikh al-Hayyiny, syari’at dijalankan berdasarkan taklif (beban dan tanggungjawab) yang dipikul kepada orang yang telah mampu memikul beban atau tanggungjawab (mukallaf). Haqiqat adalah apa yang telah diperoleh sebagai ma’rifat. Syari’at dikukuhkan oleh haqiqat dibuktikan oleh syari’at. Adapun syari’at adalah bukti pengabdian manusia yang diwujudkan berupa ibadah, melalui wahyu yang disampaikan kepada para Rasul. Haqiqat itu sendiri merupakan bukti dari penghambaan (ibadah) manusia terhadap Allah SWT, dengan tunduk kepada hukum syari’ at tanpa perantaraan apapun.

Thariqat
Adalah thariqat itu suatu sikap hidup
Orang yang teguh pada pegangan yang genap
Ia waspada dalam ibadah yang mantap
Bersikap wara’ berperilaku dan sikap
Dengan riyadhah itulah jalan yang tetap.

Para Ulama berpendapat thariqat adalah jalan yang ditempuh dan sangat waspada dan berhati-hati ketika beramal ibadah. Seseorang tidak begitu saja melakukan rukhshah (ibadah yang meringankan) dalam menjalankan macam-macam ibadah. Walaupun ada kebolehan melakukan rukhshah, akan tetapi sangat berhati-hati melaksanakan amal ibadah. Diantara sikap hati-hati itu adalah bersifat wara’.
Menurut al-Qusyairy, wara’ artinya berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara’ adalah suatu pilihan bagi ahli thariqat.
Imam al-Ghazaly membagi sifat wara’ dalam empat tingkatan. Tingkat yang terendah adalah wara’ul ‘adl (wara’ orang yang adil) yakni meninggalkan suatu perbuatan sesuai dengan ajaran fiqh, seperti makan riba atau perjanjian-perjanjian yang meragukan dan amal yang dianggap bertentangan atau batal.
Tingkat agak ke atas adalah wara’ush shâlihîn (wara’ orang-orang saleh). Yakni menjauhkan diri dari semua perkara subhat, seperti makanan yang tidak jelas asal usulnya, atau ragu atas suatu yang ada di tangan atau sedang dikerjakan, atau disimpan.
Tingkat yang atasnya lagi, adalah wara’ul muttaqqîn (wara’ orang-orang yang takwa). Yakni meninggalkan perbuatan yang sebenarnya dibolehkan (mubah), karena kuatir kalau-kalau membahayakan, atau mengganggu keimanan, seperti bergaul dengan orang-orang yang membahayakan, orang-orang yang suka bermaksiat, memakai pakaian yang serupa dengan orang- orang yang berakhlak jelek, menyimpan barang-barang berbahaya atau diragukan kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per sepuluh) dari hartanya yang halal karena kuatir berasal dari perilaku haram.
Tingkat yang tertinggi adalah, wara’ush shiddiqqîn (wara’ orang-orang yang jujur). Yakni menghindari sesuatu walaupun tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya hal-hal yang mubah yang terasa syubhat.
Kisah-kisah berikut ini menunjukkan sifat-sifat orang yang wara’.
Pada masa Imam Ahmad bin Hambal, hiduplah seorang sufi bernama Bisyir al-Hafy. Ia mempunyai saudara perempuan yang bekerja memintal benang tenun. Biasanya pekerjaan itu dikerjakan di loteng rumahnya. Ia bertanya kepada Imam Ahmad, “Pada suatu malam ketika ia sedang memintal benang, cahaya obor lampu orang Thahiriyah (mungkin tetangga) masuk memancar ke loteng kami. Apakah kami boleh memanfaatkan cahaya lampu obor tersebut untuk menyelesaikan pekerjaan kami?” Imam Ahmad menjawab “Sungguh dari dalam rumahmu telah ada cahaya orang yang sangat wara’, maka janganlah engkau memintal benang dengan memanfaatkan cahaya obor itu“.
Abu Hurairah mengatakan: “Pada suatu hari seorang saudaraku datang mengunjungiku. Untuk menyajikan makanan buat menghormatinya, saya belikan lauk seekor ikan panggang. Setelah selesai menyantap makanan itu, saya ingin membersihkan tangannya dari bau ikan bakar itu. Dari dinding rumah tetangga, saya mengambil debu bersih untuk membersihkan dan menghilangkan bau amis dari tangannya. Akan tetapi saya belum minta izin tetangga tersebut untuk menghalalkan perbuatan saya itu. Saya menyesali atas perbuatan saya itu empat puluh tahun lamanya“.
Dikisahkan juga bahwa ada seorang laki-laki mengontrak sebuah rumah. Ia ingin menghiasi ruangan rumah itu, lalu menuliskan khat-khat riq’i pada salah satu dindingnya. Ia berusaha menghilangkan debu-debu pada dinding rumah kontrakan itu. Karena ia merasa bahwa perbuatan itu baik dan tidak ada salahnya. Ketika ia sedang membersihkan debu-debu pada dinding rumah itu, didengarnya suara, “Hai orang yang menganggap remeh pada debu engkau, akan mengalami perhitungan amal yang sangat lama“.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur Makkah. Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengeluarkan dua buah bejana lalu ia berkata: “Ambillah salah satu, mana yang jadi milikmu“. Imam Ahmad berkata, “Saya sendiri ragu, mana dari dua bejana itu yang menjadi milikku. Untuk itu ambil olehmu bejana dan uang tebusannya. Saya rela semua untukmu“. Tukang sayur itu serta merta menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu berkata: “Inilah milikmu“. Imam Ahmad berkata, “Sesungguhnya aku hanya menguji kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi,” sambil berjalan meninggalkan tukang sayur itu.
Diriwayatkan bahwasannya Ibnu al-Mubarak pulang pergi dari Marwan ke Syam untuk mengembalikan setangkai pena, yang belum sempat dikembalikan kepada pemiliknya.
Hasan al-Bashry pernah menanyakan kepada seorang putera sahabat Ali bin Abi Thalib, ketika itu sedang bersandar di Ka’bah sambil memberi pelajaran. Hasan al-Bashry bertanya: “Apakah yang membuat agama menjadi kuat?” Dijawabnya: “yang menguatkan agama adalah sifat wara’“. “Apa yang merusak agama?” “yang merusak agama adalah tamak“. Jawaban itu mengagumkan Hasan al-Basry, lalu ia berkata “Dengan sifat wara’ yang ikhlas lebih baik dari seribu kali shalat dan puasa“.
Itulah beberapa kisah yang menghiasi akhlak para sufy masa lampau. Sifat yang mengagumkan yang melekat dalam hidup mereka. Demikian juga sifat mulia para sahabat tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Kata wa-azimatun, menurut lughat, artinya cita-cita yang kuat. Maksudnya penuh kesungguhan dan sabar menghadapi bermacam-macam masalah hidup, akan tetapi kuat menghadapinya dan mampu mengendalikan hawa nafsu. Demikian juga melatih diri dengan riyadlah yang dapat memperkuat ibadah dan melakukan ketaatan. Umpamanya riyadlah mengendalikan keinginan yang mubah, seperti puasa makan, minum, tidur, menahan lapar seperti puasa, sunnat, atau meninggalkan hal-hal yang kurang berguna bagi kemantapan dan konsentrasi jiwa kaum sufi.
Nabi SAW bersabda: “Cukurlah kiranya bagi manusia beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Apabila ingin lebih dari itu, hendaklah ia membagi perutnya; sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga lagi untuk bernafas“.
Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda: “Bukankah manusia itu tertelungkup dalam neraka, tidak lain karena buah omongan lisannya. Sedangkan usia manusia itu adalah modal pokok perdagangannya. Apabila disia-siakan dengan makhluk perbuatan yang tidak berguna, maka sungguh ia telah merusaknya dengan kesia-siaan“.
Oleh karena itu mengamalkan ilmu thariqat sama dengan menghindari segala macam perbuatan mubah, seperti telah dicontohkan di atas. Itulah jalan suci akan mengantarkan manusia kepada ketaatan dan kebahagiaan.
Haqiqat
Haqiqat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan
Menyaksikan cahaya nan gemerlapan
Dari ma’rifatullah yang penuh harapan

Untuk menempuh jalan menuju akhirat haqiqat adalah tonggak terakhir. Dalam haqiqat itulah manusia yang mencari dapat menemukan ma’rifatullâh. Ia menemukan hakikat yang tajalli dari kebesaran Allah Penguasa langit dan bumi.
Menurut Imam al-Ghazalytajalli adalah rahasia Allah berupa cahaya yang mampu membuka seluruh rahasia dan ilmu. Tajalli akan membuka rahasia yang tidak dapat dipandang oleh mata kepala. Mata hati manusia menjadi terang, sehingga dapat memandang dengan jelas semua yang tertutup rapat dari penglihatan lahiriah manusia.
Al-Qusyairi membedakan antara syari’at dan haqiqat sebagai berikut: Haqiqatadalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata hatinya. Syari’at adalah kepastian hukum dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syari’at ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriyahantara manusia dengan Allah SWT .
Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa, perumpamaan syari’at adalah ibarat kepala, thariqat ibarat lautan, dan haqiqat ibarat mutiara.
Seperti pada bunyi syair, “Barangsiapa yang ingin mendapatkan mutiara di dalam lautan, maka ia harus mengarungi lautan dengan menumpang kapal (ilmu syari’at), kemudian ia harus pula menyelam untuk mendapatkan perbendaharaan yang berada di kedalaman laut, yakni bernama mutiara (ilmu haqiqat)”.
Para penuntut ilmu tasawuf tidak akan mencapai kehidupan yang hakiki, kecuali telah menempuh tingkatan hidup ruhani yang tiga tersebut. Menuju kesempurnaan hidup ruhani dan jasmani yang hakiki menuju hidup akhirat yang sempurna, tiga jalan itu hendaklah ditempuh bersama-sama dan bertahap. Apabila tahap-tahap itu tidak ditempuh maka penuntut tasawuf atau mereka yang berminat mencari hidup ruhani yang tentram, tidak akan mendapatkan mutiara yang sangat mahal harganya itu.
Wajib Bersyari’at 
Thariqat dan haqiqat bergantung kepada syari’at. Dua tahapan itu tidak akan berhasil ditempuh oleh para penuntut, kecuali melalui syari’at.
Dasar pokok ilmu syari’at adalah wahyu Allah yang tertulis jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebab ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah serta ibadah muamalah tercantum dengan jelas dalam ilmu syari’at.
Siapa pun tidak boleh menganggap dirinya terlepas dari syari’at, walaupun ia ulama sufi yang besar dan piawai, atau wali sekalipun. Orang yang menganggap dirinya tidak memerlukan syari’at untuk mencapai thariqat sangat tersesat dan menyesatkan.
Karena syari’at itu seluruhnya bermuatan ibadah dan muamalah, maka menjadi satu paduan dengan thariqat dan haqiqat. Ibadah seperti itu tidak gugur kewajibannya walaupun seseorang telah mencapai tingkat wali. Bahkan ibadah syari’atnya wajib melebihi tingkat ibadah manusia biasa. Umpamanya mutu ibadah seorang waliyullah melebihi mutu ibadah orang-orang awam. Sebagaimana Rasulullah SAW, ketika mendirikan shalat dengan penuh kekhusyuan dan begitu lama berdiri, ruku’ dan sujudnya, sehingga dua kakinya menjadi membengkak, karena dikerjakan dengan penuh kecintaan dan ketulusan.
Ketika Nabi SAW ditanya berkaitan dengan ibadahnya yang begitu hebat dan sungguh-sungguh, beliau menjawab: “Mengapa saya tidak menjadi hamba yang bersyukur?” Karena ibadah itu termasuk salah satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah dan semua anugerah-Nya. Maka para shufiyah atau waliyullah sekalipun tetap berkewajiban melaksanakan ibadah syari’at yang ditaklifkan kepada setiap muslimin dan muslimat. Oleh karena itu wajib bagi penuntut kehidupan akhirat dan para penuntut ilmu-ilmu Islam secara intensif mempelajari ilmu syari’at. Sebab semua ilmu yang berkaitan erat dengan kehidupan dunia dan akhirat, bergantung erat kepada ilmu syari’at. Ilmu tasawuf dengan pendekatan kebatinan (ruhaniyah) tetap bergantung erat dengan syari’at. Tanpa syari’at semua ilmu dan keyakinan ruhaniyah tidak ada artinya.
Hati para shufiyah akan cemerlang sinarnya dalam menempuh kehidupan ruhaniyah yang tinggi, hanya akan diperoleh dengan ilmu syari’at. Demikian juga kemaksiatan batin dan pencegahannya sudah tercantum dari teladan Nabi SAW, semuanya tercantum dalam ilmu syari’at.
Ilmu tasawuf, adalah bahagian dari akhlak mahmudah, hanya akan diperoleh dari uswah hasanah-nya Nabi Muhammad SAW. Cahaya yang bersinar dari kehidupan Nabi SAW adalah pokok dasar bagi pengembangan ilmu tasawuf atau dasar pribadi bagi para penuntut ilmu tasawuf. Menurut tuntunan Nabi SAW, hati adalah ukuran pertama penuntut ilmu tasawuf. Dengan kesucian hati dan ketulusannya melahirkan akhlak mahmudah dan mencegah akhlak mazmumah, seperti yang diajarkan dalam sunnah Nabi SAW, sebagian dari ilmu syari’at. Dengan pengertian lain, hati manusia shufiyah itu akan ditempati oleh thariqat yang berdasarkan syari’at.
Ma’rifatullah
Para ulama tasawuf dan kaum shufiyah menempuh beberapa cara untuk mecapai tingkat tertinggi dalam shufiyah, atau ma’rifatullah. Untuk mencapai ma’rifatullah ini setiap penuntut shufiyah menempuh jalan yang tidak sama. Ma’rifatullah adalah tingkat telah mencapai thariqat al-haqiqah.
Akan tetapi tidak berarti thariqat menuju ma’rifatullah itu harus secara khusyusiah, lalu menempatkan diri hanya dalam ibadah batiniyah belaka. Akan tetapi untuk mencapai tingkat thariqat ma’rifatullah itu, para penuntut dapat juga mencapai melalui berguru langsung dengan para syaikh yang mursyid.
Para syaikh yang mursyid, biasanya suka memberi pelajaran dan pendidikan kepada masyarakat untuk memberi petunjuk kaifiyat ibadah dan tauhid Uluhiyahyang bersih dan uswah hasanah Nabi SAW.
Imam al-Ghazaly berkata: “Barangsiapa berilmu dan beramal serta mengajarkan ilmunya, maka ia termasuk orang yang mendapat predikat orang mulla di kerajaan langit. Ia telah berma’rifat kepada Allah. Ia adalah ibarat matahari yang menyinari dirinya sendiri, atau laksana minyak misik yang harum yang menyebarkan keharuman disekitarnya, sedangkan ia sendiri berada dalam keharuman“.
Ketika seorang guru (da’i) sedang asyik mengajarkan ia berada dalam suasana yang agung dan suci. Oleh karena itu seorang da’i atau guru yang sedang mengajar Al Islam, hendaklah selalu menjaga kesucian dan adab-adabnya. Ada pula yang menempuh jalan zikrullah dengan mewiridkan zikir-zikir yangma’tsur atau amalan yang bernilai ibadah, seperti membaca Al-Qur’an, bertahmid, tasbih dan tahlil. Cara ini dijalankan oleh penuntut ilmumutajarridah (konsentrasi diri untuk semata-mata beribadah), termasuk jalan yang ditempuh oleh orang-orang saleh.
Cara lain lagi yang ditempuh ialah dengan menghidmatkan diri kepada ulama Fiqh, atau ulama tasawuf atau ulama Islam umumnya. Cara berguru, belajar dan mengajar seperti ini sangat penting dan lebih utama dari shalat sunnat. Karena perbuatan atau amal seperti itu termasuk maslahah mursalah(kepentingan umum), karena juga bernilai ibadah.
Sayyid Abdul Qadir Jailany RA, berkata: “Saya tidak akan mencapai ma’rifatullah dengan hanya qiyamullail, atau berpuasa sepanjang hari. Akan tetapi sampainya saya kepada ma’rifatullah, adalah juga dengan amalan maslahah mursalah, seperti bermurah hati dan menyantuni semua orang, tasamuh dan tawadlu’. Ada juga yang beribadah untuk membantu dan menggembirakan orang lain. Termasuk berusaha mencari nafkah, seperti mencari kayu bakar di hutan, lalu dijual dan hasilnya disedekahkan bagi kepentingan umum. Cara-cara seperti ini merupakan ibadah, selain banyak manfaatnya, juga akan mencapai ma’rifatullah karena akan memperoleh do’anya masyarakat umum dan kaum dhu’afa“.