MENGENAL THARIQAT
Menjelaskan tentang dasar-dasar ajaran thariqat dan mengenalkan tentang Thariqat Al-Idrisiyyah
Senin, 25 April 2011
PENGAJIAN RUTIN TENTANG KEISLAMAN
Marilah kita menghadiri majelis ilmu (Al-Islamiyah) dan majelis zikir bersama Syaikh Muhammad Fathurrahman M.Ag, R.A di Masjid Al Fattah Jl. Batu Tulis XIV setiap hari Ahad Jam 10.00 WIB hingga selesai.
Minggu, 20 Maret 2011
NASIHAT UNTUK PARA SALIKIN - Oleh Imam Al-Ghazali (PART 5)
Wahai Anakku, saya menasihatimu dengan delapan hal dan terimalah agar ilmumu tidak menjadi musuhmu di hari kiamat. Empat dari delapan nasihat itu kau harus kerjakan dan empat lainnya harus kau tinggalkan.
Empat Hal yang Harus Ditinggalkan
Adapun empat hal yang harus kau lakukan adalah sebagai berikut.
Empat Hal yang Harus Ditinggalkan
Adapun empat hal yang harus kau tinggalkan adalah sebagai berikut.
- Meninggalkan perdebatan sedapat mungkin dan/atau menegakan hujah (alasan) bagi setiap orang yang menyebutkan suatu permasalahan, karena dalam hal ini mengandung banyak tanda, di mana dosanya lebih banyak dari pada manfaatnya. Mengapa dosanya lebih hanyak, karena hal itu menjadi sumber bagi setiap akhlak yang jelek, seperti riya, hasud, sombong, dendam, permusuhan dan ujub.
Memang benar seandainya muncul suatu masalah antara dirimu dengan seseorang atau sekelompok orang, sedangkan kau bermaksud mempertegas dan memenangkan kebenaran, sehingga kebenaran tidak tersia-sia, maka kau boleh membahas dan mendiskusikannya, Akan tetapi, hal ini pun harus memiliki dua tanda:
pertama engkau tidak mengubah sikap dan tidak membeda-bedakan antara apakah kebenaran itu muncul dari lidahmu atau teman diskusimu, bahkan engkau akan merasa senang bila ternyata bila kebenaran itu justru tersingkap dari teman diskusimu. Sebab penerimaannya terhadap apa-apa yang bersumber dari dirinya akan lebih mudah diterima olehnya daripada apa yang bersumber darimu.
kedua diskusi di tempat yang sunyi lebih kau sukai daripada di tempat umum yang ramai. Jika kau mengatakan suatu masalah dan kau tahu bahwa kebenaran berada dipihakmu sementara dia mencemoohkan atau melecehkan, berhati-hatilah menegakan hujah dihadapannya. Tinggalkanlah dia sebab tidak ada faedah bersamanya, justru kau akan mendapat faedah bila meninggalkannya.
Ketahuilah, mempertanyakan sesuatu yang sulit sama halnya dengan menyodorkan penyakit hati kepada seorang dokter, dan jawaban untuk pertanyaan itu merupakan salah satu upaya atau terapi menyembuhkan penyakit.
Ketahuilah, orang yang bodoh adalah orang yang hatinya sakit, sedangkan seorang ulama yang mengamalkan ilmunya adalah seorang dokter. Ulama yang kurang ilmu, terapinya tidak mustajab. Sedangkan ulama yang sempuma, belum tentu mampu menyembuhkan setiap penyakit, tetapi hanya mampu menyembuhkan penyakit orang yang memang mengharapkan kesembuhan dan kebaikan. Jika penyakitnya sudah kronis atau akut, maka sulit diharapkan kesembuhannya. Dalam hal ini, seorang dokter atau tabib cukup mengatakan, "Ini tidak mungkin disembuhkan." Karena itu, engkau jangan disibukkan dengan mengobatinya karena hanya menyia-nyiakan umur.
Kemudian ketahuilah, penyakit bodoh ada empat macam. Tiga bisa disembuhkan, sedangkan sisanya tidak. - Penyakit bodoh yang paling tidak bisa menerima kesembuhan, adalah penyakit yang orang bodoh yang bersumber dari penyakit hasud dan marah dalam dirinya. Ketika pertanyaan yang diiringi oleh hasud itu dijawab dengan jawaban yang sangat jelas, baik dan tepat, orang itu tetap saja tidak akan menerima, tetapi semakin marah, memusuhi dan hasud. Maka jawaban yang terbaik untuk persoalan ini adalah tidak menjawabnya. Alias diam. "Setiap permusuhan bisa diharapkan kesembuhannya. Kecuali permusuhan yang muncul dari hati yang hasud" Oleh sebab itu, kau harus menghindar dari masalah ini, meninggalkan orang yang punya jiwa seperti ini dan tidak perlu menanggapinya. Biarkanlah ia dengan penyakit hatinya. Allah swt. berfirman: "Maka berpalinglah [hai Muhammad] dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi." (QS. Al Najm: 29). Hasud yang menjadi pemicu ucapan dan tindakan hanya akan menyalakan api dalam kebun ilmunya. Hasud memakan kebaikan sebagaimana api yang memakan kayu.
- Penyakit bodoh yang bersumber dari kedunguan. Penyakit ini pun tidak bisa disembuhkan, sebagaimana yang dikatakan Isa as: "Saya mampu menghidupkan orang mati, tetapi saya tidak mampu mengobati penyakit tolol." Orang dungu adalah orang yang sibuk mencari ilmu dalam waktu yang singkat dan dangkal, dan samasekali tidak mempelajari ilmu yang rasional dan syar'i, kemudian karena kedunguannya ia bertanya dan memprotes seorang ulama hebat yang sepanjang usianya telah digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu rasional dan syar'i. Inilah orang dungu yang tidak tahu dan tidak menduga bahwa sesuatu yang menyulitkannya juga menjadi persoalan yang menyulitkan orang alim hebat. Jika ia tidak tahu kapasitas dirinya, maka pertanyaan yang dilontarkannya, muncul adalah cermin dari kedunguannya. Karena itu, haruslah kau berpaling dari orang yang seperti ini dan tak perlu membuang waktu untuk sibuk memikirkan jawabannya.
- Penyakit bodoh dari orang oportunis. Orang oportunis yang selalu mencari petunjuk kepada beberapa orang yang tidak memiliki keahlian untuk memahami perkataan orang-orang terkemuka. Dia bertanya mengenai hal-hal yang tidak jelas agar mendapat manfaat (keuntungan pribadi) dari jawaban yang diberikan. Akan tetapi, karena keterbatasan pemahamamnya ia tidak mengetahui hakikatnya, Karena itu engkau tidak perlu memberikan jawaban kepadanya. Rasulullah saw. bersabda: "Kami adalah kelompok para Nabi yang diperintahkan berbicara kepada manusia menurut ukuran. (kemampuan) akal mereka."
- Adapun penyakit bodoh yang masih bisa disembuhkan adalah penyakit bodoh yang diderita orang berakal yang giat mencari petunjuk dan pemahaman. Ia tidak dikalahkan oleh hasud, nafsu amarah, senang syahwat,kehormatan dan harta. Ia adalah pencari kebenaran. Pertanyaan-pertanyaannya tidak lahir dari perasaan hasud, juga tidak bermaksud untul menyusahkan atau menguji. Penyakit bodoh ini bisa disembuhkan, dan yang ditanya boleh memikirkan jawabannya, bahkan wajib menjawab pertanyaannya
- Kau harus menghindarkan diri jadi pemberi nasihat atau penceramah atau juru dakwah , karena dalam hal ini terdapat banyak penyakit, kecuali jika kau sudah melaksanakan apa yang telah kamu katakan. Setelah itu, kau baru boleh jadi penasihat. Renungkanlah apa yang pernah dikatakan kepada 'Isa as, "Hai Putra Maryam, nasihatilah dirimu. Jika kamu berhasil menasihati dirimu, maka nasihatilah orang lain. Jika tidak, maka malulah kamu kepada Tuhanmu".
Jika kau diuji dengan perbuatan ini (jadi penasihat atau penceramah), maka jagalah dirimu dari dua hal. - Pertama, jagalah diri dari kepura-puraan, jangan membuat kata-kata yang sulit atau kalimat yang dibuat-buat, baik dalam bentuk ungkapan, isyarat, simbol-simbol, bait-bait syair maupun puisi, karena Allah memurkai orang-orang yang suka memberat-beratkan diri atau membuat kata-kata yang dibuat-buat. Orang yang memberat-beratkan diri adalah orang yang melampaui batas, dan perbuatan ini menunjukkan batinnya rapuh dan hatinya lalai.
Padahal makna dari suatu nasihat adalah agar orang selalu ingat atau selalu berdzikir, mengingat api Akhirat dan membatasi dirinya hanya untuk berkhidmat kepada Allah; memikirkan usianya yang telah lewat yang habis digunakan untuk hal-hal yang tidak berarti; memikirkan ancaman siksaan di depan matanya; memikirkan bagaimana akhir kehidupannya, apakah berakhir dengan baik atau jelek; memikirkan bagaimana Malaikat Maut mencabut nyawanya; memikirkan apakah dirinya kelak mampu menjawab pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir; seluruh perhatiannya tercurahkan untuk kejadian-kejadian di hari Kiamat dan akibat-akibat yang ditimbulkannya; dan memikirkan apakah dirinya mampu melewati titian jalan di atas neraka dengan selamat ataukah terjatuh ke dalam jurang neraka;
Semuanya ini harus dibangkitkan dalam benak dan kalbu mereka Hingga terpikirkan terus-menerus dalam hati dan jiwanya, sampai hatinya bergetar ketakutan. Api ketakutan yang meluap dalam dirinya akan menimbulkan ketaatan kepada Allah dan getaran-getaran ini bila diarahkan kepada Allah dinamakan ingat atau dzikir. Adanya kesadaran diri sebagai makhluk yang lemah dan terbatas, sadar atas cacat-cacat dirinya, akhirnya akan menimbulkan panas dan membakar jiwanya, menggetarkan urat-urat syarafnya, lalu mendorong dirinya untuk menebus usianya yang hilang tanpa guna, menyesali hari-harinya yang berlalu tanpa diisi ketaatan kepada Allah, yang kesemuanya ini menimbulkan rasa sadar dan ingat, yang oleh para ulama sufi dinamakan sadar atau wa'zhan.
Memberi nasihat tanpa kepura-puraan seumpama keadaan seperti ketika kau menyaksikan banjir yang melanda kampung, lalu menerjang rumah penduduk, maka kamu tentu akan berteriak-teriak, "Awaaas ... hati-hati! Cepaaat! Lariii!" Apakah ketika keadaan sudah gawat seperti itu, hati dan pikiranmu masih ingin memberitahukan penduduk dengan kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang berat-berat dan sulit dipahami, atau menggunakan sandi-sandi atau isyarat-isyarat yang hanya dimengerti orang tertentu. Sekali-kali jangan menggunakan kata-kata seperti itu. Itu adalah kebiasaan pemberi nasihat dan tukang ceramah. Kau harus menghindari kebiasaan buruk ini. - Kedua, memberi nasihat dimana nasihat-nasihatmu justru bisa menjadikan orang lari dari majelismu, atau menjadikan majelismu sebagai suatu pertunjukan, kemudian kamu ingin pamer kemuliaan dan penampilan yang megah, sehingga orang lain mengatakan, "Sebaik-baik majelis adalah majelismu ini." Semua ini harus dihindarkan karena ini termasuk tanda-tanda majelis yang condong kepada dunia atau materi. Majelis yang demikian pasti lahir karena tidak ingat Allah, alias lupa.
Seharusnya majelismu terbentuk karena didorong oleh keteguhan semangat, tekad dan cita-citamu untuk mengajak manusia dari cinta dunia menuju cinta akhirat; dari kemaksiatan untuk dibawa kepada ketaatan; dari ambisi dunia ditarik kesikap zuhud; dari kebakhilan diubah menjadi dermawan; dari lupa dan tertipu dibawa kepada ketaqwaan; dan jadikanlah mereka mencintai akhirat dan membenci dunia. Ajarilah mereka ilmu ibadah dan zuhud karena karakter manusia senang menyimpang dari jalan syari'at dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak diridlai Allah. Oleh sebab itu, tajamkan hatimu dengan rasa takut pada Allah dan hindarkanlah dari hal-hal yang tidak menjadikan hatimu takut kepadaNya.
Sifat batin manusia bisa berubah-ubah dan perbuatan zahirnya juga bisa berganti-ganti. Karena itu, arahkan pandangan mereka untuk bersemangat dan senang melakukan ketaatan serta kembali dari kemaksiatan. Hendaklah perkataannya senantiasa berhubungan dengan masalah ilmu kezuhudan dan ibadah. Sepatutnya kau perhatikan keinginan mereka, apakah menyimpang dari keridhaan Allah atau tidak; perhatikan kecenderungan kalbu mereka, apakah menyimpang dari syarat atau tidak; dan juga perhatikan amalan dan akhlaknya yang tercela dan yang terpuji, akhlak manakah yang lebih dominan. Orang yang ketakutannya lebih dominan, kembalikanlah pada harapan {raja). Sebaliknya, orang yang harapannya lebih dominan, kembalikanlah pada ketakutan (khawf), dengan cara yang mereka pahami, sehingga pada akhirnya sifat-sifat tercela secara lahir dan batin akan sirna dan digantikan dengan sifat-sifat terpuji. Mereka akan selalu berhasrat pada ketaatan, setelah sebelumnya mereka malas untuk melakukannya. Mereka membenci kemaksiatan, setelah sebelumnya mereka rakus melakukannya.
Ini adalah jalan peringatan dan nasihat. Setiap peringatan / nasihat yang tidak seperti yang disebutkan diatas adalah bencana bagi orang yang memberi nasihat maupun bagi yang mendengarkannya. Bahkan, pemberi nasihat yang menyesatkan adalah hantu-hantu gentayangan yang mengajak pergi manusia dari jalan keselamatan, untuk kemudian diajak ke tempat yang seram, lalu mereka dibinasakan. Karena itu, mereka harus menjauhi nasihat semacam ini dan orang yang memberikannya, karena meskipun nasihat-nasihatnya bermanfaat secara agama, nasihat itu tidak mampu menghindarkannya dari tarikan setan. Barangsiapa mempunyai tangan dan kekuasaan, maka wajib baginya menurunkan penasihat / pendakwah semacam ini dari mimbarnya dan mencekalnya supaya tidak bergaul dan mempengaruhi orang. Melakukan ini termasuk perintah agama.
- Hal ketiga, yang harus kau tinggalkan adalah janganlah bergaul dengan para penguasa dan sultan. Jangan memandang mereka karena, memandang mereka dan duduk semajelis dengan mereka, akan mendatangkan bencana besar. Jika kamu diuji dengan kehadiran mereka atau kau dekat dengan mereka, maka jangan sekali-kali kamu memuji-muji mereka, karena Allah murka terhadap orang yang memuji-muji orang fasik dan zalim. Barangsiapa berdoa untuk kelanggengan kekuasaan mereka, berarti ia suka terhadap orang yang membuat kemaksiatan di muka bumi.
- Hal keempat, janganlah kau menerima pemberian penguasa atau sultan, termasuk juga hadiah, walaupun kau tahu bahwa pemberian itu dari harta halal, karena tamak terhadap pemberian penguasa bisa merusak agama. Hal itu dikarenakan penerimaan ini bisa mendorong kamu bersikap menjilat, mengambil muka, mencari perhatiannya, dan bahkan setia menemaninya dalam kezaliman. Semua ini akan merusak agama, paling tidak kau senang dan berharap penguasa itu usianya panjang, kekuasaannya stabil dan lestari, sehingga kau tetap mendapatkan manfaat darinya, yaitu hadiah-hadiah dan berbagai pemberian. Barangsiapa senang terhadap kelanggengan kezaliman, berarti ia juga ikut mendukung adanya kezaliman dan bahkan ikut mendorong rusaknya alam. Hal mana yang lebih membahayakan agama dan menimbulkan akibat yang lebih besar daripada perbuatan ini. Hati-hatilah kau terhadap tipuan setan melalui pemberian para penguasa. Mungkin di antara tipuan itu akan berkata kepadamu, "Sebaiknya kamu mengambil dinar dan dirham pemberian para penguasa itu, yang kemudian kamu membagi-bagikannya kepada kaum fakir-miskin. Mereka memberikan nafkah dalam kefasikan dan kemaksiatan. sedangkan sedekahmu kepada orang-orang lemah lebih baik daripada sedekah mereka." Banyak orang terkutuk yang dipenggal leher mereka karena bisikan yang menyesatkan ini.
Adapun empat hal yang harus kau lakukan adalah sebagai berikut.
- Jadikanlah mu'amalah atau seluruh perbuatanmu bersama Allah. Artinya. seandainya budakmu bekerja sama dengamu, engkau rela menerimanya, engkau tidak sempit hati, tidak resah juga tidak marah. Engkau juga tidak rela jika budakmu diperlakukan tidak baik atau menerima balasan yang tidak pantas. Terhadap Allah, kamu harus lebih baik, karena ia junjunganmu yang hakiki.
- Setiap engkau bekerja dengan manusia. maka usahakanlah ia senang dan rela sebagaimana kau senang dan rela terhadap dirimu sendiri, karena iman seseorang tidak dianggap sempurna sampai orang itu mencintai seluruh manusia sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
- Jika engkau membaca atau mempelajari suatu ilmu; ilmu tersebut haruslah: yang bermanfaat untuk kau amalkan, yang sesuai dengan hatimu dan yang menyucikan jiwamu. Hal ini seperti jika kamu merasa bahwa usiamu tinggal seminggu, maka engkau tidak perlu menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu fiqih, akhlak, ushul fiqih, akhlak, ilmu kalam dan ilmu-ilmu sejenisnya (ilmu zahir), karena engkau sudah tahu bahwa ilmu-ilmu tersebut tidak akan mencukupi atau memuaskan jiwamu. Sebaliknya, kau harus menyibukkan diri dengan mengontrol hati, memahami sifat-sifat jiwa dan nafsu, berpaling dari urusan keduniaan, menyucikan jiwa dari akhlak yang tercela, sibuk dengan mencintai Allah dan hambaNya serta menyempurnakan diri dengan sifat-sifat yangbaik. Siangdan malam tidak dilewatinya kecuali diisi dengan ibadah dan ingat kepada Allah serta berusaha dan memohon agar maut menjemputnya di saat-saat baik seperti ini.
Wahai Anakku. dengarkanlah ucapan yang lain, kemudian renungkanlah sehingga engkau menemukan kesimpulannya. Seandainya kaau memperoleh berita bahwa seminggu lagi seorang Sultan atau Raja memilihmu jadi menteri. Sudah pasti kau pada saat-saat itu sibuk memperbaiki diri. Engkau akan berusaha, bersikap dan berperilaku sebaik mungkin karena kamu tahu bahwa pandangan dan penilaian Sultan sangat berpengaruh jadi tidaknya kau diangkat sebagai menteri. Pakaian, badan, penampilan, rumah dan bahkan kamar-kamar pribadimu, kau perbaiki sebaik mungkin, sehingga ketika utusan Sultan datang, ia berpikiran positif terhadapmu. Sekarang pikirkanlah sabda Rasulullah saw. ini:"Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk luarmu, juga tidak perbuatan zahirmu, akan tetapi Dia memandang hati dan niatmu." Jika engkmu benar-benar menginginkan ilmu yang membahas suasana batin, maka pelajarilah kitab Ihya' dan beberapa karangan saya lainnya. Ilmu batin adalah ilmu fardlu 'ain, sedangkan lainnya fardlu kifayah kecuali yang berkaitan dengan kewajiban melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. - Janganlah engkau meyimpan harta benda melebihi dari apa yang dibutuhkan. Rasulullah saw. bersabda: "Ya Allah, jadikanlah rizki keluarga Muhammad itu sekadar untuk mencukupi kebutuhan"
NASIHAT UNTUK PARA SALIKIN - Oleh Imam Al-Ghazali (PART 4)
Makna Seorang Syekh atau Mursyid
Syarat Seorang Syekh atau Mursyid
Dua Karakter Utama Tasawuf
Makna Ibadah
Makna Tawakal
Makna Ikhlas
Wahai Anakku, jika engkau berjalan dengan Allah, engkau akan melihat banyak keajaiban di setiap tempat yang engkau singgahi. Persembahkan ruhmu, karena modal utama perjalanan ini adalah keberanian mempersembahkan ruh, sebagai mana yang dikatakan Dzu Al Nun Al Mishr kepada salah seorang muridnya, "Jika engkau mampu mempersembahkan ruh, maka berangkatlah. Jika tidak mampu, maka jangan sekali-kali menyibukkan diri dengan laku sufi."
Makna mendidik bagi seorang mursyid menyerupai pekerjaan seorang petani, yaitu sama dalam kemampuan mencabut duri dan rerumputan, kemudian mengeluarkan tanam-tanaman sampingan di sekitarnya yang sekiranya mengganggu tanaman pokok, sehingga tanaman yang dipelihara menjadi baik dan buahnya sempurna. Seorang syekh atau mursyid terhadap salik atau muridnya harus mampu menunjukkan dan mengantarkannya kejalan Allah, karena Allah telah mengutus seorang Rasul (utusan) kepada hamba-hambaNya agar menunjukkan mereka ke jalan Allah. Ketika Rasulullah saw. wafat, kedudukannya sebagai guru dan penuntun umat digantikan oleh para khalifahnya yang terpilih. Para khalifah ini mendidik dan mengantarkan umat kejalan Allah. Dengan demikian, para khalifah Rasul juga mempunyai peran sebagai guru, mursyid, syekh atau pendidik.
Syarat seorang syekh atau mursyid yang layak menjadi pengganti Rasulullah saw. haruslah orang yang alim. Akan tetapi, tidak setiap orang yang alim patut menduduki jabatan khalifah atau pengganti Rasulullah. Di bawah ini akan dijelaskan sebagian tanda orang alim yang pantas menjadi mursyid, agar tidak setiap orang yang alim mengaku-ngaku mursyid.
- dia tidak mencintai dunia, jabatan dan kehormatan;
- diapun telah dididik ditangan mursyid juga. Ia mengikuti mursyid yang memiliki penglihatan batin dan mursyidnya bersambung ke mursyid-mursyid sebelumnya hingga mata rantainya sampai kepada Rasulullah saw.;
- dia senantiasa melatih jiwanya dan menjalankan riyadlah dengan sedikit makan, minum, bicara dan tidur
- dia banyak melakukan shalat sunnah, sedekah dan puasa;
- dia dikenal memiliki akhlak yang terpuji berupa sabar, tekun, syukur, tawakkal, yakin, berjiwa tenang (tumaninah), qana'ah, dermawan, tawadu', rendah hati, alim, jujur, punya rasa malu, tepat janji, wibawa, lembut dan tenang,
- dia disucikan dari akhlak tercela seperti takabur, kikir, hasad, dengki, tamak, panjang angan-angan, gegabah dan sebagainya
- dia harus terhindar dari fanatisme dan perasaan tak butuh ilmu dari yang lain karena merasa cukup dengan ilmunya sendiri (istagna)
maka ia adalah cahaya dari pancaran cahaya-cahaya Rasulullah saw. Orang yang seperti ini layak diikuti dan dijadikan mursyid. Akan tetapi, untuk menemukan yang seperti ini sangat sulit dan memang jarang. Sebab, banyak orang yang mengaku mursyid, tetapi pada dasarnya dia hanya mengajak manusia kepada permainan dan perbuatan yang tak berguna. Bahkan, ada atheis yang mengaku sebagi mursyid dengan menyimpang dari syari'ah.
Karena banyaknya orang yang mengaku mursyid, para mursyid yang sesungguhnya menjadi tersembunyi. Dengan beberapa hal yang telah kusebutkan, akan diketahui mursyid yang hakiki, yaitu yang tak menyimpang dari hal di atas. Tetapi jika menyimpang dari hal di atas, maka dia hanya orang yang mengaku sebagai mursyid.
Di antara kebahagiaan yang paling bahagia adalah menemukan mursyid atau syekh seperti yang yang tanda-tandanya kami sebutkan di muka, dan terlebih jika dia menerima sebagai muridnya. Jika sudah menemukannya, maka murid wajib memuliakannya secara zahir dan batin.
Memuliakan Mursyid Secara Zahir dan Batin
Menghormati mursyid secara zahir di antara bentuknya adalah tidak mendebatnya dan tidak mengajaknya adu argumen dalam setiap masalah, walaupun ia menemukan mursyidnya bersalah. Di samping itu, ia tidak menginjak sajadah mursyidnya dan tidak duduk dikarpetnya kecuali di saat menunaikan shalat berjamaah dengannya, dan jika selesai shalat, sajadah dan karpetnya diangkat. Ia juga tidak banyak melakukan shalat sunnah ketika mursyidnya sedang hadir dan siap melaksanakan perintahnya dengan sekuat tenaga dan kesempatan.yang dimilikinya.
Adapun menghormati mursyid secara batin adalah tidak munafik kepadanya. Setiap apa yang didengar dari mursyidnya, lalu diterimanya sebagai nasihat dan petunjuk secara zahir, maka batinnya tidak boleh mengingkarinya, baik secara ucapan maupun tindakan, agar ia tidak disifati munafik. Jika tidak mampu meninggalkan teman yang bisa mencocokkan batin dan zahir, ucapan dan perbuatan, maka jagalah dirimu dari berkawan dengan orang-orang yang berakhlak jelek, supaya ruang gerak setan dari bangsa jin dan manusia terbatas, sehingga batinmu tetap jernih dan tidak terkotori oleh bisikan setan. Dalam setiap keadaan, pilihlah kefakiran daripada kaya.
Kemudian, ketahuilah, bahwa tasawuf memiliki dua karakter utama, yaitu istiqamah dan diam (tidak terpengaruh oleh ulah makhluk).
Barangsiapa beristiqamah, tetap dalam kebaikan, berakhlak baik kepada semua manusia, dan mempergauli mereka dengan sikap asih dan dermawan, maka ia adalah seorang sufi. Istiqamah adalah menebus bagian dirinya untuk dirinya. Di antara tanda akhlak yang baik adalah tidak mengajak manusia untuk mengikuti kehendak dirinya sendiri, tetapi mengajak dirimu kepada kehendak orang banyak, selama kehendak mereka tidak menentang syari'at. Artinya, tidak egois terhadap kebenaran dirinya sendiri, tetapi menuruti kebenaran umum yang sesuai dengan syara'.
Engkau juga menanyakan kepada saya persoalan ibadah. Ketahuilah, ibadah ada tiga macam.
- Pertama, menjaga (memahami dan mengamalkan secara istiqamah) syari'at.
- Kedua, ridla terhadap semua qadla', qadar dan pembagian Allah.
- Ketiga, meninggalkan ridla terhadap dirinya sendiri dalam rangka mencari ridla Allah.
Engkau pun bertanya kepada saya tentang tawakkal. Ketahuilah, tawakkal adalah keteguhan keyakinanmu terhadap Allah atas apa yang dijanjikanNya. Artinya, kau yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa apa yang telah ditakdirkan atau digariskan atau dinasibkan kepadamu pasti akan sampai kepadamu, walaupun semua orang di dunia berusaha mencegah dan mengalihkannya darimu. Sebaliknya, apapun yang tidak dipastikan atau dicatatkan untukmu juga tidak akan sampai kepadamu, sekalipun seluruh penduduk alam menolongmu menuju kesana.
Engkau juga bertanya kepadaku tentang ikhlas. Ketahuilah, ikhlas adalah seluruh amalmu yang kau peruntukkan kepada Allah semata. Hatimu tidak terpengaruh oleh pujian manusia dan kau tidak mempedulikan cercaan mereka. Ketahuilah, ria' lahir karena mengagung-agungkan makhluk. Cara untuk menghilangkan ria' adalah dengan memandang mereka tidak berarti, tidak punya kuasa, dan tunduk di bawah kekuasaan Allah. Kau memandang mereka seperti benda-benda tidak bernyawa yang tidak mempunyai kuasa dan kemampuan mendatangkan kesenangan dan kesengsaraan, sehingga kau berhasil membersihkan hatimu dari penglihatan mereka. Selama engkau masih memiliki pandangan bahwa makhluk mempunyai kuasa dan kekuatan serta kehendak, maka ria' tidak akan terjauhkan darimu.
Wahai Anakku, sisa dari permasalahanmu sebagian sudah terjawab dalam beberapa kitab susunan saya, maka carilah sendiri. Engkau kerjakan semampumu atas apa yang telah kau ketahui agar apa yang belum engkau ketahui disingkapkan oleh Allah.
Wahai Anakku, setelah ini, janganlah engkau bertanya kepada saya tentang sesuatu yang akan semakin memberatkanmu kecuali engkau bertanya dengan lidah hati. Allah swt. berfirman: "Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai engkau keluar menemui mereka, sesungguhnya itu adalah lebih baik bagi mereka." (QS. Al Hujurat: 5).
Terimalah nasihat Nabi Khidir as ketika berkata: "Janganlah engkau menanyakan kepada saya tentang suatu apapun sampai saya sendiri menerangkannya kepadamu." (QS. Al Kahfi: 70).
Jangan pula engkau terburu-buru bertanya hingga jawaban itu sampai kepadamu atau disingkapkan kepadamu suatu rahasia dan engkau melihatnya: "Kelak akan Aku perlihatkan kepadamu tanda-tanda azabKu. Maka janganlah engkau minta kepadaKu mendatangkannya dengan segera." (qs. Al Anbiya': 37).
Janganlah engkau bertanya kepadaku sebelum waktunya. Yakinlah bahwa engkau tidak akan sampai kecuali dengan berjalan menempuhnya, karena Allah berfirman: "Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan." (QS. Al Rum: 9).
Kamis, 10 Maret 2011
SEKILAS TENTANG POKOK-POKOK AJARAN AL-IDRISIYYAH
Al-Idrisiyyah adalah aliran Thariqat yang didirikan Sayyid Ahmad bin Idris Al‑Fasi (w. 1253) yang memperoleh pelajaran tasawufnya dari Sayyid Abdul Wahhab At-Tazi (w. 1131 H.), seorang sufi reformer berasal dari Afrika. Abdul Wahhab At‑Tazi ini juga guru dari Sayyid Muhammad Ali As‑Sanusi Al-Kabir (orang Barat menyebutnya the Grand Sanusi). Pendiri Thariqat Sanusiyah. Karenanya tak mengherankan jika antara kedua Thariqat ini terdapat banyak kesamaan terutama dalam ajaran-ajarannya. Sebab kedua Thariqat ini berasal dari guru yang sama.
Ada baberapa nama diberikan kepada aliran Thariqat ini. Terkadang disebut Al-Idrisiyyah, nama yang dihubungkan dengan Sayyid Ahmad bin Idris, namun sering pula disebut Khidiriyyah, nama yang dikaitkan kepada Nabi Khidir As[1]. Bahkan, Sayyid Muhammad Ali As-Sanusi dalam bukunya Al-Manhalu Ar‑Raawii Ar-Raaiqu fii Asaanidi Al-'Ulum wa Ushuuli At‑Thariiq menyebut Thariqat ini Muhammadiyah juga ada pula catatan yang menyebut Thariqat ini Ahmadiyah[2], nama yang dinisbahkan kepada Ahmad bin Idris.
Sebagaimana Thariqat Sanusiyah, Thariqat Al-Idrisiyah pun punya banyak pengikut terutama di daerah Afrika seperti Tunisia, Libia, Yaman dan sebagainya serta daerah‑daerah lainnya dan seperti Saudi Arabia, Mesir, dan lain‑lain. Adalah para jemaah haji yang sekaligus memperdalam Ilmu agama di Makkah yang sangat besar peranannya dalam penyebaran Thariqat ini. Ini terjadi karena dalam + 36 tahun Ahmad bin Idris menjadi guru di Makkah yang setiap kali mengajar selalu di ikuti banyak murid berasal dari berbagai daerah.
Di Indonesia, Thariqat Al-Idrisiyyah nampaknya kurang popular jika dibanding dengan Thariqat‑Thariqat lainnya, seperti Tarikat Qadiriyah, Naqsabandiyah, Syadziliyyah, Samaniyah, Tijaniah, Sanusiyyah, atau Rifa’iyah. Dalam literatur-literatur Indonesia, Thariqat ini jarang dibicarakan. Buku Pangantar llmu Thariqat (Bulan Bintang, 1985) karangan Prof. H. Abubakar Atjeh misalnya, hanya sedikit menyinggung Thariqat ini. Itupun tak secara spesifik, melainkan dimasukkan dalam pembahasan mengenai Thariqat Sanusiyah. Padahal, Thariqat‑Thariqat lainnya dibahas secara cukup panjang lebar.
Masuknya Thariqat Al-Idrisiyyah ke Indonesia terjadi sekitar 1930-an, oleh Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah sebagai pembawanya. la lahir di desa Cidahu, Tasikmalaya, pada 1884 M/1303 H. dan merupakan anak ke‑3 dari 10 orang bersaudara dari pasangan H. Muhammad Syarif bin Umar dan H. Rafi’ah binti Jenah. Nenek moyangnya tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa, yaitu Sunan Derajat.
Suatu hari guru dari Abdul Fatah yang bernama Haji Suja'i membahas Surat Kahfi ayat ke- 17, yang artinya "Barang siapa mengambil petunjuk Allah, maka dia akan mendapat petunjuk dan barang siapa yang tersesat (jalannya), maka tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang memberi petunjuk kepadanya." Abdul Fattah bertanya siapakah yang dimaksud waliyyan mursyida dalam ayat itu, dan apakah gurunya termasuk "waliyyan mursyida". "Bila Ingin mendapatkannya sebaiknya segeralah engkau berangkat untuk mencarinya," jawab sang guru.
Sejak itu Abdul Fattah izin sekaligus mencari orang yang disebut "waliyyan mursyida". Maka, pada 1924 Abdul Fattah sekeluarga berangkat ke Tanah Suci. Namun, sampai di Singapura kapal yang ditumpanginya mengalami kerusakan. Mereka Ialu menetap di sana selama beberapa tahun. Barulah pada 1928, ia dapat melanjutkan perjalanannya ke Makkah. Sampailah ia di Jabal Abu Qubais[3] dan di tempat ini ia berguru kepada Syekh Ahmad Syarif Sanusi. Dari Syekh inilah ia memperoleh ilmu Thariqat yang dikembangkan oleh Ahmad bin ldris, dengan mendapatkan kepercayaan penuh (mandat kekhalifahan) untuk membawa ajaran ini ke Indonesia.
Sekembalinya di Indonesia Abdul Fattah mengembangkan Thariqat ini. Mula-mula di daerah Jakarta, Ialu di Cidahu, Tasikmalaya. Di Cidahu ini dengan cepat ajaran Thariqatnya dikenal. Salah satu yang membuat kelompok Thariqat ini cepat dapat perhatian, mungkin karena cara berpakaian yang menyerupai orang-orang Arab, yaitu pakaian serba putih serta berjenggot. Karena Itu mereka dijuluki kaum putih dan kaum jenggot.
Seperti gerakan Islam lainnya, gerakan Al-Idrisiyyah ini pun tak luput dari pengawasan ketat pemerintah kolonial Belanda. Apalagi ajarannya memiliki kemiripan dengan ajaran Thariqat Sanusiyah di AIjazair yang di tuduh merongrong kekuasaan kolonial Perancis. "Syekh dan pengikut-pengikutnya itu merupakan musuh sangat berbahaya bagi kekuasaan Belanda, sekurang‑kurangnya sama bahayanya dengan orang-orang golongan Sanusi terhadap kekuasaan Perancis di AIjazair." tulis Snouck Hurgronje soperti dikutip Delliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indoensia. (LP3ES. 1980. hal 29).
Pada masa pendudukan Jepang Thariqat Al-Idrisiyah malancarkan sikap non-kooperatif dengan Jepang. Akibatnya, pemimpinnya, Abdul Fattah, harus mendekam di tahananan Jepang selama 10 bulan.
Setelah Cidahu dianggap sudah tak memadai lagi untuk mengembangkan ajaran Thariqat Al-Idrisiyyah, maka pada 1947 pusat gerakan Thariqat ini dipindahkan ke desa Pagendingan Cisayong. Dengan memanfaatkan tanah warisan istrinya, dibangunlah sebuah mesjid dan beberapa pemondokan bagi santri laki‑laki. Ketika maletusnya pemberontakan DI/TII para anggota Thariqat ini terlibat aktif dalam usaha penumpasan pemberontakan tersebut. Kemudian pada tahun 1969 nama pesantren Pagendingan diubah menjadi pesantren Fathiyyah, nama yang dihubungkan dengan Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah, sang pembawa Thariqat Al-Idrisiyyah ke Indonesia. Hingga sekarang pesantren Fat-hiyyah ini merupakan pusat pengembangan ajaran Thariqat Al-Idrisiyyah di bawah pimpinan Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan, putra Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah.[4]
Beberapa Pokok Ajarannya
Yang menarik dari ajaran Thariqat ini, penafsirannya terhadap kaidah‑kaidah hukum Islam. Seperti diketahui kaidah-kaidah fiqih yang berkembang hingga sekarang dan merupakan pedoman hukum Islam dalam aturan peribadatan, pada umumnya dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Hukum wajib adalah perintah Allah yang jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan berdosa. Kebalikannya adalah haram, yaitu yang berpahala ditinggalkan dan berdosa jika diperbuat. Sedangkan, sunnah adalah jika dikerjakan mendapat pahala tetapi jika ditinggalkan tidak apa-apa. Adapun makruh, jika dikerjakan tidak apa-apa, ditinggalkan berpahala.
Formula kaidah‑kaidah hukum seperti dalam pengertian di atas menurut ajaran Al-Idrisiyyah kurang tepat, bahkan keliru. Seharusnya adalah baik sunnah apalagi wajib keduanya harus dikerjakan, begitu juga dengan haram dan makruh keduanya harus ditinggalkan. Hukum mubah berada di tengah tergantung pada niat dan tujuan mengerjakannya. Yang membedakan wajib‑sunnah, haram-makruh hanyalah kadar sanksi dan imbalannya.
Kaidah-kaidah ini menjadi utama dalam ajaran Thariqat Al-Idrisiyyah, karena sangat berkaitan erat dengan kesaksian pernyataan keimanan seseorang seperti terkandung dalam dua kalimah syahadat.
Menurut ajaran Thariqat Al-Idrisiyah, kesaksian yang mengatakan "Tiada Sembahan selain Allah" itu mengandung arti kesediaan untuk melaksanakan segala yang diperintahkanNya (wajib) dan meninggalkan apa yang dilarang‑Nya (haram), kemudian diikuti dengan kesaksian selanjutnya 'Dan Muhammad adalah utusan Allah" yang mengandung arti bahwa setiap apa yang diperbuatnya (sunnah) dan yang diperintahkannya, menjadi panutan juga.
Konsekuensi logis dari konsep ini adalah baik wajib atau pun sunnah, begitu juga halnya haram atau makruh, adalah kategori-kotegeri hukum yang ketat ditaati, sebab bila tidak, misalnya perintah‑perintah yang nilai hukumnya hanya sunnah, tapi tidak dikerjakan maka posisi keimanan yang berkaitan dengan “Dan Muhammad adalah utusan Allah" menjadi berubah, dan dengan demikian syahadatnya menjadi kurang sempurna.
Dasar pemikiran yang bersumber dari hukum fiqih, ini secara positif telah menjadi motivatisi untuk memperbanyak amalan yang dilakukan setiap anggota jemaah tarikat Al-Idrisiyah ini. Beberapa rumusan yang menentukan suatu perkara serta hukumnya, seperti hukum merokok. masalah pakaian, masalah dzikir telah dirumuskan dan menjadi doktrin panutan.
Selain doktrin yang didasarkan pada hasil rumusan semacam itu, ada juga yang sifatnya sudah jelas hukumnya, seperti shalat sunnat. Hampir semua jenis shalat sunat dilaksanakan setiap saat, terutama sunat Qabliyah, Ba'diyiah, Tasbih, Sujud Syukur dan sunat Hajat. Untuk Shalat Isya ditutup dengan witir, sedang shalat subuh diteruskan dengan dzikir hingga tiba waktu shalat ‘Isyraq.
Ada baberapa nama diberikan kepada aliran Thariqat ini. Terkadang disebut Al-Idrisiyyah, nama yang dihubungkan dengan Sayyid Ahmad bin Idris, namun sering pula disebut Khidiriyyah, nama yang dikaitkan kepada Nabi Khidir As[1]. Bahkan, Sayyid Muhammad Ali As-Sanusi dalam bukunya Al-Manhalu Ar‑Raawii Ar-Raaiqu fii Asaanidi Al-'Ulum wa Ushuuli At‑Thariiq menyebut Thariqat ini Muhammadiyah juga ada pula catatan yang menyebut Thariqat ini Ahmadiyah[2], nama yang dinisbahkan kepada Ahmad bin Idris.
Sebagaimana Thariqat Sanusiyah, Thariqat Al-Idrisiyah pun punya banyak pengikut terutama di daerah Afrika seperti Tunisia, Libia, Yaman dan sebagainya serta daerah‑daerah lainnya dan seperti Saudi Arabia, Mesir, dan lain‑lain. Adalah para jemaah haji yang sekaligus memperdalam Ilmu agama di Makkah yang sangat besar peranannya dalam penyebaran Thariqat ini. Ini terjadi karena dalam + 36 tahun Ahmad bin Idris menjadi guru di Makkah yang setiap kali mengajar selalu di ikuti banyak murid berasal dari berbagai daerah.
Di Indonesia, Thariqat Al-Idrisiyyah nampaknya kurang popular jika dibanding dengan Thariqat‑Thariqat lainnya, seperti Tarikat Qadiriyah, Naqsabandiyah, Syadziliyyah, Samaniyah, Tijaniah, Sanusiyyah, atau Rifa’iyah. Dalam literatur-literatur Indonesia, Thariqat ini jarang dibicarakan. Buku Pangantar llmu Thariqat (Bulan Bintang, 1985) karangan Prof. H. Abubakar Atjeh misalnya, hanya sedikit menyinggung Thariqat ini. Itupun tak secara spesifik, melainkan dimasukkan dalam pembahasan mengenai Thariqat Sanusiyah. Padahal, Thariqat‑Thariqat lainnya dibahas secara cukup panjang lebar.
Masuknya Thariqat Al-Idrisiyyah ke Indonesia terjadi sekitar 1930-an, oleh Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah sebagai pembawanya. la lahir di desa Cidahu, Tasikmalaya, pada 1884 M/1303 H. dan merupakan anak ke‑3 dari 10 orang bersaudara dari pasangan H. Muhammad Syarif bin Umar dan H. Rafi’ah binti Jenah. Nenek moyangnya tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa, yaitu Sunan Derajat.
Suatu hari guru dari Abdul Fatah yang bernama Haji Suja'i membahas Surat Kahfi ayat ke- 17, yang artinya "Barang siapa mengambil petunjuk Allah, maka dia akan mendapat petunjuk dan barang siapa yang tersesat (jalannya), maka tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang memberi petunjuk kepadanya." Abdul Fattah bertanya siapakah yang dimaksud waliyyan mursyida dalam ayat itu, dan apakah gurunya termasuk "waliyyan mursyida". "Bila Ingin mendapatkannya sebaiknya segeralah engkau berangkat untuk mencarinya," jawab sang guru.
Sejak itu Abdul Fattah izin sekaligus mencari orang yang disebut "waliyyan mursyida". Maka, pada 1924 Abdul Fattah sekeluarga berangkat ke Tanah Suci. Namun, sampai di Singapura kapal yang ditumpanginya mengalami kerusakan. Mereka Ialu menetap di sana selama beberapa tahun. Barulah pada 1928, ia dapat melanjutkan perjalanannya ke Makkah. Sampailah ia di Jabal Abu Qubais[3] dan di tempat ini ia berguru kepada Syekh Ahmad Syarif Sanusi. Dari Syekh inilah ia memperoleh ilmu Thariqat yang dikembangkan oleh Ahmad bin ldris, dengan mendapatkan kepercayaan penuh (mandat kekhalifahan) untuk membawa ajaran ini ke Indonesia.
Sekembalinya di Indonesia Abdul Fattah mengembangkan Thariqat ini. Mula-mula di daerah Jakarta, Ialu di Cidahu, Tasikmalaya. Di Cidahu ini dengan cepat ajaran Thariqatnya dikenal. Salah satu yang membuat kelompok Thariqat ini cepat dapat perhatian, mungkin karena cara berpakaian yang menyerupai orang-orang Arab, yaitu pakaian serba putih serta berjenggot. Karena Itu mereka dijuluki kaum putih dan kaum jenggot.
Seperti gerakan Islam lainnya, gerakan Al-Idrisiyyah ini pun tak luput dari pengawasan ketat pemerintah kolonial Belanda. Apalagi ajarannya memiliki kemiripan dengan ajaran Thariqat Sanusiyah di AIjazair yang di tuduh merongrong kekuasaan kolonial Perancis. "Syekh dan pengikut-pengikutnya itu merupakan musuh sangat berbahaya bagi kekuasaan Belanda, sekurang‑kurangnya sama bahayanya dengan orang-orang golongan Sanusi terhadap kekuasaan Perancis di AIjazair." tulis Snouck Hurgronje soperti dikutip Delliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indoensia. (LP3ES. 1980. hal 29).
Pada masa pendudukan Jepang Thariqat Al-Idrisiyah malancarkan sikap non-kooperatif dengan Jepang. Akibatnya, pemimpinnya, Abdul Fattah, harus mendekam di tahananan Jepang selama 10 bulan.
Setelah Cidahu dianggap sudah tak memadai lagi untuk mengembangkan ajaran Thariqat Al-Idrisiyyah, maka pada 1947 pusat gerakan Thariqat ini dipindahkan ke desa Pagendingan Cisayong. Dengan memanfaatkan tanah warisan istrinya, dibangunlah sebuah mesjid dan beberapa pemondokan bagi santri laki‑laki. Ketika maletusnya pemberontakan DI/TII para anggota Thariqat ini terlibat aktif dalam usaha penumpasan pemberontakan tersebut. Kemudian pada tahun 1969 nama pesantren Pagendingan diubah menjadi pesantren Fathiyyah, nama yang dihubungkan dengan Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah, sang pembawa Thariqat Al-Idrisiyyah ke Indonesia. Hingga sekarang pesantren Fat-hiyyah ini merupakan pusat pengembangan ajaran Thariqat Al-Idrisiyyah di bawah pimpinan Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan, putra Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah.[4]
Beberapa Pokok Ajarannya
Yang menarik dari ajaran Thariqat ini, penafsirannya terhadap kaidah‑kaidah hukum Islam. Seperti diketahui kaidah-kaidah fiqih yang berkembang hingga sekarang dan merupakan pedoman hukum Islam dalam aturan peribadatan, pada umumnya dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Hukum wajib adalah perintah Allah yang jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan berdosa. Kebalikannya adalah haram, yaitu yang berpahala ditinggalkan dan berdosa jika diperbuat. Sedangkan, sunnah adalah jika dikerjakan mendapat pahala tetapi jika ditinggalkan tidak apa-apa. Adapun makruh, jika dikerjakan tidak apa-apa, ditinggalkan berpahala.
Formula kaidah‑kaidah hukum seperti dalam pengertian di atas menurut ajaran Al-Idrisiyyah kurang tepat, bahkan keliru. Seharusnya adalah baik sunnah apalagi wajib keduanya harus dikerjakan, begitu juga dengan haram dan makruh keduanya harus ditinggalkan. Hukum mubah berada di tengah tergantung pada niat dan tujuan mengerjakannya. Yang membedakan wajib‑sunnah, haram-makruh hanyalah kadar sanksi dan imbalannya.
Kaidah-kaidah ini menjadi utama dalam ajaran Thariqat Al-Idrisiyyah, karena sangat berkaitan erat dengan kesaksian pernyataan keimanan seseorang seperti terkandung dalam dua kalimah syahadat.
Menurut ajaran Thariqat Al-Idrisiyah, kesaksian yang mengatakan "Tiada Sembahan selain Allah" itu mengandung arti kesediaan untuk melaksanakan segala yang diperintahkanNya (wajib) dan meninggalkan apa yang dilarang‑Nya (haram), kemudian diikuti dengan kesaksian selanjutnya 'Dan Muhammad adalah utusan Allah" yang mengandung arti bahwa setiap apa yang diperbuatnya (sunnah) dan yang diperintahkannya, menjadi panutan juga.
Konsekuensi logis dari konsep ini adalah baik wajib atau pun sunnah, begitu juga halnya haram atau makruh, adalah kategori-kotegeri hukum yang ketat ditaati, sebab bila tidak, misalnya perintah‑perintah yang nilai hukumnya hanya sunnah, tapi tidak dikerjakan maka posisi keimanan yang berkaitan dengan “Dan Muhammad adalah utusan Allah" menjadi berubah, dan dengan demikian syahadatnya menjadi kurang sempurna.
Dasar pemikiran yang bersumber dari hukum fiqih, ini secara positif telah menjadi motivatisi untuk memperbanyak amalan yang dilakukan setiap anggota jemaah tarikat Al-Idrisiyah ini. Beberapa rumusan yang menentukan suatu perkara serta hukumnya, seperti hukum merokok. masalah pakaian, masalah dzikir telah dirumuskan dan menjadi doktrin panutan.
Selain doktrin yang didasarkan pada hasil rumusan semacam itu, ada juga yang sifatnya sudah jelas hukumnya, seperti shalat sunnat. Hampir semua jenis shalat sunat dilaksanakan setiap saat, terutama sunat Qabliyah, Ba'diyiah, Tasbih, Sujud Syukur dan sunat Hajat. Untuk Shalat Isya ditutup dengan witir, sedang shalat subuh diteruskan dengan dzikir hingga tiba waktu shalat ‘Isyraq.
Selasa, 08 Maret 2011
THARIQAT SANUSSIYAH
Tarekat Sanusiyah bukan semata-mata tarekat biasa, melainkan ia adalah sebuah gerakan. Gerakan tajdid dan islam. Pengasasnya adalah Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi.
Syeikh Muhammad bin Ali as-Sanusi telah dilahirkan pada hari Isnin 12 Rabiulawal 1202H/22 Disember 1787M di sebuah tempat yang bernama al-Wasitah, di Mustaghanim, Algeria.
Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi adalah seorang ulama yang ikhlas dan suka merendahkan dirinya. Oleh itu, beliau telah mencapai kemajuan yang pesat di atas jalan kerohanian.
Tarekatnya bebas dari syirik dan khurafat. Beliau menyeru kepada ijtihad dan memerangi taqlid. Syeikh as-Sanusi yang bermazhab Maliki, akan menyalahi pendapat mazhabnya jika ada mazhab lain yang lebih mendekati kepada kebenaran.
Antara bintang dari tarekat ini adalah Umar Mukhtar sang Singa Padang Pasir yang terkenal itu.
Berikut ini adalah ringkasan dari Tarekat As-Sanusiyah:
Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berkata, "Hamba-hamba Allah ini telah memberikan kami satu tugas yang amat berat sekali sehingga andaikata ia diletakkan di atas gunung, ia tidak akan sanggup untuk memikulnya."
Yang dimaksudkan oleh beliau ialah menjaga amanah Allah.Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi telah meninggal dunia pada bulan Safar tahun 1276H/1859M di al-Jaghbub, Libya.
Kekhalifahan Thareqat Sanusiyah kemudian sampai kepada Syaikh Ahmad Syarif As-Sanusi yang kemudian di istiklaf-kan kepada Asy-Syaikh Al-Akbar Abdul Fattah. Oleh Asy-Syaikh Al-Akbar Abdul Fattah nama Thareqat Sanusiyah ini kemudian di kembalikan ke nama Thareqat Al Idrisiyyah. Pada saat ini kekhalifahan Thareqat Sanusiyah (Thareqat Al Idrisiyyah) adalah Asy-Syaikh Al-Akbar Muhammad Fathurrahman R.A
Syeikh Muhammad bin Ali as-Sanusi telah dilahirkan pada hari Isnin 12 Rabiulawal 1202H/22 Disember 1787M di sebuah tempat yang bernama al-Wasitah, di Mustaghanim, Algeria.
Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi adalah seorang ulama yang ikhlas dan suka merendahkan dirinya. Oleh itu, beliau telah mencapai kemajuan yang pesat di atas jalan kerohanian.
Tarekatnya bebas dari syirik dan khurafat. Beliau menyeru kepada ijtihad dan memerangi taqlid. Syeikh as-Sanusi yang bermazhab Maliki, akan menyalahi pendapat mazhabnya jika ada mazhab lain yang lebih mendekati kepada kebenaran.
Antara bintang dari tarekat ini adalah Umar Mukhtar sang Singa Padang Pasir yang terkenal itu.
Berikut ini adalah ringkasan dari Tarekat As-Sanusiyah:
- Sanusiyah merupakan gerakan dakwah Islam, islah dan tajdid.
- Secara umumnya mereka berpegang dengan al-Quran dan al-Sunnah dengan pengaruh tasauf.
- Ia muncul di Libya pada kurun ke-13 H.
- Tersebar luas hingga ke Selatan Afrika, Sudan, Somalia dan sebahagian negara Arab.
- Pengasas gerakan ini adalah Muhammad bin Ali as-Sanusi yang bermazhab Maliki, namun beliau akan menyalahi mazhab berkenaan jika di sana ada kebenaran bersama mazhab lain.
- Dalam berdakwah kepada Allah, gerakan ini menggunakan cara lembut dan berhikmah.
- Mereka menekankan dalam kerja-kerja tangan dan sentiasa berjihad Fi Sabilillah menentang penjajah, Salibi dan sebagainya.
Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berkata, "Hamba-hamba Allah ini telah memberikan kami satu tugas yang amat berat sekali sehingga andaikata ia diletakkan di atas gunung, ia tidak akan sanggup untuk memikulnya."
Yang dimaksudkan oleh beliau ialah menjaga amanah Allah.Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi telah meninggal dunia pada bulan Safar tahun 1276H/1859M di al-Jaghbub, Libya.
Kekhalifahan Thareqat Sanusiyah kemudian sampai kepada Syaikh Ahmad Syarif As-Sanusi yang kemudian di istiklaf-kan kepada Asy-Syaikh Al-Akbar Abdul Fattah. Oleh Asy-Syaikh Al-Akbar Abdul Fattah nama Thareqat Sanusiyah ini kemudian di kembalikan ke nama Thareqat Al Idrisiyyah. Pada saat ini kekhalifahan Thareqat Sanusiyah (Thareqat Al Idrisiyyah) adalah Asy-Syaikh Al-Akbar Muhammad Fathurrahman R.A
SEJARAH THARIQAT AL-IDRISIYYAH DI INDONESIA
Al-Idrisiyyah atau di Timur Tengah lebih dikenal sebagai As-Sanusiyyah adalah sebuah Tharieqah yang lahir dan besar di Afrika Utara. Namanya dinisbahkan kepada Muhammad bin Ali As Sanusi, lahir pada tahun 1791 di Tursij, dekat Mustaghanam (Aljazair), dan meninggal di Djaghbub (Cyrenaica).
Sebenarnya perkumpulan sufi ini didirikan oleh Syekh Abdul Aziz Ad Dabbagh (wafat 1717 M), mulanya dengan nama al Khidiriyyah. Murid-muridnya Syekh Abdul Wahab at-Taziy, Syekh Ahmad bin Idris al Fasi , Syekh Muh. Al Mirghani, kemudian meneruskan ajaran-ajaran beliau dengan nama Al-Idrisiyyah, Ar-Rasyidiyyah, Al-Mirghaniyyah yang akhirnya dapat disimpulkan bahwa nama-nama Thariqah tersebut berasal dari satu akar (satu sumbu wasilah).
Mengenai riwayat pendiri Thariqah ini dapat diceritakan bahwa As-Sanusi mula-mula mendapat didikan agama dari guru ternama, Syekh Abu Ras dan Syekh Belganduz di daerahnya Maroko. Lalu pergi ke Fez, dari tahun 1821-1828, disanalah ia memperdalam ilmunya mengenai tafsir Quran, ilmu hadits, ilmu fiqih, dan lain-lain. Kemudian menunaikan haji ke Mekkah dan dilakukan dengan perjalanan melalui Tunisia Selatan dan Mesir. Diceritakan bahwa ia kemudian mengambil tempat tinggal yang tepat di Shabia dan di sana pada tahun 1837 untuk pertama kali ia membuat zawiyyah (perkumpulan orang sufi), tempat melatih murid-murid thariqahnya di sebuah gunung yang terkenal di Mekkah, Jabal Abu Qubais (sekarang menjadi istana kerajaan Saudi).
Sepulang dari sana ia tidak tinggal di Mesir, tetapi menetap beberapa waktu di Cyrenaica, dimana ia mendirikan pula zawiyyah suluk dari Thariqah Rifai, kemudian pindah membuat zawiyyah di Baidha, dekat Cyreine (Jabal Akhdhar). Lalu pindah ke Temessa dan akhirnya menetap di Djaghbub sampai tahun 1855, kota yang awal mulanya sepi, tetapi memudian diisinya dengan budak-budak yang sudah merdeka hingga menjadi pengikut-pengikutnya yang gagah perkasa. Beliau meninggal di kota ini dan disemayamkan di kota ini pula.
Riwayat hidupnya menceritakan bahwa ia mempunyai dua orang anak, yang paling tua bernama Sidi Muh. Al-Mahdi (1844-1961), meninggal di Guro, yang merupakan khalifah, dan yang kedua bernama Sidi Muh. As Syarif (1846-1896). Al-Mahdi meninggalkan dua orang anak, Sidi Muh. Idris, yang lahir tahun 1883, dan pada tahun 1909 diangkat menjadi raja kecil dibawah pengawasan Itali (memerintah pada tahun 1946-1923). Anak yang lain bernama Sidi Ridha yang berputra enam. Lalu Sidi Ahmad Syarif (keponakan Al-Mahdi) menjadi Syarif As-Sanusi inilah berkecamuk PD II, melibatkan seluruh muridnya untuk berjihad melawan penjajah di Timur Tengah dan Afrika Utara, seperti Perancis, Italia, Inggris dan Jerman.
Muridnya yang terkenal gagah pada waktu itu adalah Jenderal Umar Mukhtar (Lion of Dessert, julukannya Singa Padang Pasir), yang oleh bangsa Arab telah didokumentasikan dalam sebuah film dokumenter biografi. Sebagian kisah-kisah perjuangan pada masa itu tertuang pada buku Road to Mecca(perjalanan seorang muallaf kebangsaan Yahudi Polandia).
Perlu dicatat bahwa Thariqah Sanusiyyah pada masa-masa berkecamuk di Timur Tengah dibawa ajaran-ajarannya oleh Syekh Abdul Fattah (dari Tasikmalaya, Indonesia) yang langsung mengambilnya dari Syekh Ahmad Syarif As-Sanusi di Jabal Abu Qubais, sekaligus menyerahkan amanat khalifah kepada Syekh Abdul Fattah (kalau di Jawa dikenal sebagai KH Abdul Fattah). Dengan pertimbangan politis nama As-Sanusiyyah diubah menjadi Al-Idrisiyyah mengingat pihak Barat dan sekutu-sekutunya telah mengenal baik sepak terjang perjuangan As-Sanusiyyah, dan pada akhirnya memudahkan pengembangan Thariqah yang telah diajarkan untuk diterapkan di tempat yang baru, yakni di Indonesia.
Pengaruh-pengaruh Thariqah Qadiriyyah pada As-Sanusiyyah terlihat pada perkembangannya di Mustaghanam, juga di Tijaniyyah dan Thaibiyyah, seperti juga terasanya pengaruh ketika berkembang di Fez (Maroko), mungkin diperoleh Syekh As-Sanusi di Mekkah ketika belajar kepada gurunya Syekh Ahmad bin Idris Al-Fasi yang mendirikan Thariqah Qadiriyyah Idrisiyyah, dan juga menjadi guru dari dua buah Thariqah Rasyidiyyah dan Mirghaniyyah. Hal inilah yang membuktikan bahwa Thariqah As Sanusiyyah tidak berselisih dengan yang lainnya, justru yang lainnya menambah khazanah pengetahuan jalan (thariq) kepada Allah SWT . Di antara wirid-wirid utama yang dilakukan oleh murid-murid As-Sanusiyyah yang berasal dari Qadiriyyah adalah membaca Al-Quran satu juz sehari semalam, dipergunakan amalan ini hingga sekarang.
CIRI-CIRI SYAIKH MURSYID (WALIYAN MURSYIDAN) YANG HAQ
Setiap Mursyid yang ada pada thariqat di manapun juga dapat dijadikan sandaran untuk berabithah, namun yang lebih utama adalah mempunyai kriteria atau ciri-ciri seperti yang diisyaratkan Al-Quran dan Al-Hadits, yakni:
- Adanya istikhlaf, pemandatan kekhalifahan (kepemimpinan) secara pemilihan melalui proses Ilahiyah, bukan berdasarkan proses demokrasi, yakni pengangkatan dari seluruh jama'ah. Tegasnya, kebijakan dari Atas ke bawah, bukan dari bawah ke atas. Pengangkatan kepemimpinan yang didasari kehendak manusia mempunyai segudang kelemahan, dan penggunaan suara terbanyak dalam menentukan suatu kepemimpinan tidak bisa menjamin datangnya rahmat dan keridhaan Allah, sebab nilai-nilai kebenaran bukanlah ditentukan dengan jumlah yang terbesar/terbanyak."Kemudian Kami wariskan kitab itu kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar". (QS. Fathir[35]: 32). Sabda Nabi SAW:"Para Ulama itu adalah pewaris para Nabi". Kalimat Ulama di sini menunjukkan ketertentuan (dengan isyarat Alif Lam ma'rifah), bahwa tidak semua Ulama itu adalah Pewaris para Nabi As. Ketentuannya diterangkan lebih lanjut dalam uraian berikutnya.
- Ada nasab. Sungguhpun demikian tidak mutlak kepada Nasab. Jejak kenasaban itu sendiri dalam genggaman kekuasaan Allah, tidak semua mengetahui jaringan kenasaban sehingga terkadang dirinya sendiri tidak mengetahuinya. Tidak tiap-tiap nasab (habaib) diwarisi kemursyidan, yang punya sidiq amalnya, lurus, teliti, teguh amalnya. Ditonjolkan perihal kenasaban ini memiliki dua dampak (positif dan negatif). Sehingga Allah-lah yang mengetahui siapa yang berhak memangku kemursyidan, dan pada dasarnya setiap insan mempunyai darah (nasab) kenabian (Adam As).Firman Allah dalam Surat Hud[11]: 73:"(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkahan-Nya, dicurahkan atas kamu, wahai Ahlul bait! Sesungguhnya Allah Teramat Terpuji lagi Pemurah".Keluarga Nabi oleh Allah SWT diberikan limpahan keberkahan dan keselamatan, karena dalam setiap shalawat kita dianjurkan mengucapkannya. Begitu pulalah kita lantunkan dalam setiap shalat ketika tasyahud akhir:"Yaa Allah berikan limpahan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah berikan itu semua kepada Nabi Ibrahim beserta keluarganya".Catatan: Tidak mutlak mengedepankan nilai kenasaban sebagai jaminan ketaqwaan karena secara historis kedudukan nasab tidak menjamin ketaatan seseorang kepada Allah & Rasul-Nya. Dalam Al-Quran Allah mengingatkan Nabi Nuh tentang anaknya: ‘Wahai Nuh! Mereka bukanlah bagian keluargamu (Yaa Nuuh, innahuu laysa min Ahlik)'. (QS. Hud[11]: 46)
- Kebijakan-kebijakannya senantiasa berpijak kepada Sunah Rasul dan para sahabatnya, serta orang-orang yang saleh lagi sidiq (benar). Dan juga tidak mencampurkan yang haq dengan yang batil. Sesuai firman Allah: "Dan janganlah engkau mencampurkan yang haq dengan yang batil, dan janganlah engkau menyembunyikan yang haq itu, sedangkan engkau mengetahuinya". (QS. Al-Baqarah[2]: 42)
- Landasan penentuan hukum berpijak pada aturan yang telah ditetapkan Allah & Rasul-Nya. Ketegasan dalam penyampaian hukum akan memperjelas posisi haram dan halal bagi umat. Seorang Mursyid dapat menunjukkan di mana posisi hukum suatu permasalahan sesuai perkembangan masa berdasarkan ruh perintah dan larangan Allah SWT. Sebagai contoh keberadaan rokok, bunga bank, jual beli uang, jual beli air, dsb. yang pada masa dahulu belum ada.Watak kebijakan seorang Mursyid harus bersifat menyeluruh dalam menentukan suatu hukum. Kerangka berfikir dan tindakannya selaras dengan Kehendak Allah, serta tidak berdiri pada (baca: mengutamakan) suatu pihak/golongan tertentu, meskipun ia ada di pihaknya.
- Harus memiliki rasa keberpihakan terhadap sifat-sifat Ilahiyah, di antarnya: Arif dan bijaksana. Pengertian Arif di sini memiliki wawasan/pandangan yang luas dan jauh ke depan dalam memahami berbagai makna kehidupan, baik orang-orang terdahulu maupun yang kemudian. Tidak ubahnya mendekati sifat-sifat kenabian. Adapun sifat-sifat bijaksana itu selalu memahami kemajemukan (heterogen)nya tingkat keberadaan manusia. Di antaranya terhadap orang-orang yang berada dalam kekafiran dan kefasikan serta orang-orang yang berdosa. Ia harus betul-betul memahami sebab musabab mereka bersikap/berperilaku seperti yang demikian itu, sehingga tidak ada sikap kebencian yang muncul dalam hati Mursyid tersebut terhadap mereka.
- Mencerminkan pribadi-pribadi yang bersikap pema'af dan bersabar menerima fitnah/ujian dari orang-orang yang memfitnah atau merendahkan dirinya. Hal demikian telah diajarkan oleh para Nabi/Rasul terdahulu, yang banyak mengalami tantangan dan ujian dalam melaksanakan tugas dakwahnya
- Dalam setiap memberikan bimbingan, pengajaran atau fatwa-fatwa perintah, senantiasa kebijakannya itu tidak pernah memaksakan kepada siapapun. Karena pada dasarnya setiap manusia dijadikan oleh Allah sebagai Khalifah atau dalam pengertian lain adalah sebagai pemimpin atas dirinya masing-masing. Di mana seorang pemimpin itu mempunyai hak kemerdekaan/kebebasan atau hak veto untuk menyatakan ‘ya' atau ‘tidak', ‘iman' atau ‘kafir', ‘tunduk' atau ‘menentang/menolak'. Kesifatan-kesifatan ini begitu kental ditetapkan oleh Allah kepada manusia, yakni tidak ada paksaan dalam agama sehingga hal itu merupakan bagian hak-hak asasi setiap manusia. Maka sesuai dengan firman-Nya: "Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". (QS. Al-Kahfi[18]: 29)Inilah kebijakan Ilahiyah yang tertuang di dalam Al-Quran yang dipedomani sebagai karakteristik sebagai sifat-sifat kenabian.
- Tidak merasakan takut dalam menyampaikan yang hak kepada orang lain, meskipun pahit bagi dirinya dan yang mendengarkannya.ٍٍ Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:"Katakanlah yang benar walaupun pahit"."Dan janganlah engkau mencampuradukkan yang haq dan batil serta menyembunyikan yang haq itu, sedangkan engkau mengetahuinya". (QS. Al-Baqarah[2]: 42)Itulah ciri-ciri kemursyidan/kewalian yang disifatkan Allah dalam Al-Quran:"Ketahuilah, sesungguhnya para Wali (kekasih) Allah itu tiada sedih dan berduka cita (terhadap selain Allah). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka yang selalu bertaqwa. Mereka mendapatkan kabar baik di kehidupan dunia maupun di akhirat. Tiadalah ketetapan Allah itu berubah". (QS. Yunus[10]: 62-63)
- Terjaga dalam sikap kehati-hatian (wara') tentang manfaat dan mudharatnya dunia, sebab firman-Nya mengatakan: "Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan". (QS. Ali Imran[3]: 185)Dikatakan dunia itu menipu karena kebaikan dan keburukan dunia itu tidak tampak untuk membedakannya: "Katakanlah, Tidak tampak perbezaan antara keburukan dan kebaikan". (QS. Al-Maidah[3]: 100)
- Menata kesinambungan keseimbangan (tawazun) dunia dan ukhrawi. Keduanya memiliki kepentingan masing-masing yang saling terkait. Menjalani keduanya sesuai dengan sistem yang berlaku. Maka jika terjadi ketidaksinambungan/ketidakseimbangan pada seorang murid dalam satu sisi kehidupan, maka akan diarahkan pada posisi yang lebih sesuai dengan kemampuannya.
- Tidak bersikap komersil atau menentukan bayaran dalam menjalankan dakwahnya, yakni bersikap Zuhud. Firman Allah SWT:"Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS. Yaasin[36] :21)
- Bersikap peduli menjaga hubungan baik kepada orang-orang yang berbeda agama/kepercayaan. Firman Allah SWT mengatakan:"Tolaklah dengan cara yang lebih baik akan kejahatan itu, maka mendadaklah orang yang mempunyai permusuhan denganmu menjadi dekat denganmu bagai sahabat karib. Dan tidaklah dapat melakukannya kecuali orang yang sabar dan tidak dapat mencapainya kecuali orang yang mempunyai nasib yang baik (keuntungan yang besar)". (QS. Fushshilat[41]: 34)
- Bersifat Murobbi Ruh. Seorang Mursyid membimbing muridnya di manapun mereka berada, walaupun ia telah dipisahkan dengan alam yang berbeda. Karena Allah menyatakan:"Dan janganlah engkau katakan bahwa hamba-hamba yang terbunuh di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup. Tetapi tidaklah engkau menyadarinya". (QS. Al-Baqarah[2]: 153) Dalam ayat lain dikatakan: "Bahkan mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mereka diberi rizki". (QS. Ali Imran[3]: 169)Predikat Murobbi Ruh ini biasanya melahirkan bukti-bukti yang kuat, dan dialami oleh setiap muridnya, baik disadari maupun tidak.
- Keberhasilan lahiriyyah bukanlah merupakan tujuan pokok, di antaranya banyak ataupun sedikit yang menjadi pengikutnya bahkan mungkin tidak dipercaya oleh umatnya/kaumnya, maka tidak gugur kemursyidannya, menang atau berjaya tidaknya dari kesewenangan pihak musuh/kafir dan yang fasik. Tak ubahnya dengan kenyataan dialami para Nabi terlebih dahulu, seperti Nabi Ayub, Nabi Yunus, Nabi Yahya, Nabi Isa, Nabi Ibrahim, dsb. Dan yang berhasil di antaranya adalah: Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi Muhammad. Demikianlah sepak terjang para Nabi dan para Rasul, dan begitu pula para Mursyid yang jika tidak diikuti oleh kaumnya, tidak gugur kemursyidannya, yang gugur adalah tugasnya dalam menyampaikan. Itulah tanda-tanda kenabian dan kemursyidan, yang memiliki ciri khas yang serupa, yang kedudukannya hanya sebagai pemberi kabar."Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah sekedar menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas". (QS. Yasin[36]: 17)Seorang Mursyid tidak lain hanyalah sebagai gembala-gembala dan pembimbing ke jalan yang lurus.Sesungguhnya kedudukan seorang Mursyid yang dimaksud dalam Al-Quran & Al-Hadits di samping sebagai pemberi petunjuk adalah mempunyai posisi sebagai pembaharu (Mujaddid), yakni sebagai pemberi solusi terhadap berbagai persoalan umat di setiap masa. Sabda Nabi SAW:"Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla akan membangkitkan seseorang bagi umat Islam ini pada setiap 100 tahun yang memperbaharui agama". (HR. Abu Daud & Hakim, dari Abu Hurairah). "Hendaklah engkau berpijak atas Sunnahku dan sunnah Khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah (setelahku), peganglah kuat-kuat atasnya dan gigitlah dengan gigi gerahammu (biar tidak lepas)". (HR. Tarmidzi)"Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa-siapa yang Dia kehendaki". (QS. Al-Baqarah[2]: 269)Seorang Mujaddid diberikan hikmah (ilmu laduni) oleh Allah SWT melalui pengajaran-Nya (At-Ta'allumur Robbaniyyah).
Wallaahu A'lam.
Langganan:
Postingan (Atom)